Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
JIKA memiliki iktikad untuk melindungi masyarakat adat, langkah Pemerintah Kabupaten Lebak, Banten, dan Bulukumba, Sulawesi Selatan, bisa ditiru. Mereka menerbitkan peraturan daerah sebagai pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat.
Saat ini pemerintah daerah memang jadi tumpuan untuk memberikan perlindungan pada hak-hak masyarakat adat. Pasalnya, di tingkat nasional, undang-undang yang diharapkan bisa memayungi masyarakat adat, tidak juga kelar dibahas.
Tidak tanggung-tanggung, dua periode jabatan anggota DPR RI, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat mogok di tengah jalan. Pada 2014, RUU sudah dibahas dalam panitia khusus oleh anggota DPR RI periode 2009-2014.
Sayangnya, Pansus tidak mampu menyelesaikan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat itu, sampai masa jabatan mereka berakhir.
Upaya berlanjut pada 2017. Fraksi Partai NasDem jadi pengusulnya. Sempat disetujui sebagai Program Legislasi Nasional Prioritas 2018. Presiden Joko Widodo sempat mengeluarkan Surat Perintah Presiden tentang pembentukan tim pemerintah yang akan membahas RUU Masyarakat Adat bersama DPR.
Namun, sampai masa jabatan anggota DPR 2014-2019 berakhir, pemerintah tidak bisa menyerahkan daftar inventarisasi masalah kepada DPR. RUU pun gagal lagi.
Tahun ini, NasDem kembali mengusung RUU Masyarakat Adat masuk Prolegnas. Mereka bersama PDIP dan PKB.
Anggota DPR dari Fraksi Partai NasDem Sulaeman L Hamzah yang gigih mengangkat masalah ini sejak 2014, mengatakan status RUU Masyarakat Adat saat ini carry over di DPR. “Tinggal dilengkapi saat pembahasan.”
Daftar inventaris masalah disiapkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk disandingkan dengan daftar dari pemerintah. “Untuk menjamin perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat, kami akan menyisir kembali pasal per pasal,” janjinya.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, mengatakan UU Masyarakat Adat sangat fundamental guna perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat. Saat ini banyak peraturan tentang masyarakat adat yang justru menyulitkan mereka untuk mendapatkan hak-hak tradisional.
“UU tentang masyarakat adat perlu sebagai peletak dasar pengaturan beserta hak-hak yang bersifat komprehensif. Masyarakat adat menantikan RUU segera disahkan guna menekan peningkatan angka kriminalisasi,” tandasnya.
Kriminalisasi sering terjadi selama 2019. Salah satunya Masyarakat Adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, yang berhadapan dengan Hutan Tanaman Industri (HTI). Ada juga kasus masyarakat adat peladang di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, yang menjadi pesakitan karena membuka lahan kurang dari 1 hektare dengan cara dibakar.
“Ada 51 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat sampai Desember 2019. Mayoritas terkait dengan tuduhan penebangan hutan,” tambah Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Rahma Mary. (Ant/N-2)
Mantan Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan bahasa Bali terancam punah.
Persetujuan atas adanya alih fungsi lahan pada hutan seharusnya melibatkan masyarakat adat yang dapat diwakili oleh para tetua adat.
Ritual adat merupakan tradisi masyarakat Dayak untuk meminta izin kepada leluhur mereka sebelum mendirikan kampung atau bangunan di tanah mereka.
Pesta Adat Lom Plai Wehea sangat potensial untuk mengangkat nama Kutai Timur ke kancah internasional melalui seni budaya.
Pemkot Padang menyambut baik tradisi adat 'Limau Baronggeh' yang dilakukan masyarakat Sungai Pisang, Kelurahan Teluk Kabung Selatan, Kecamatan Bungus Teluk Kabung dalam menyambut Ramadhan.
tarian Sulawesi Tengah sebagai simbol dan ciri khas budaya setempat, tercipta dari kebiasaan dan adat istiadat masyarakat Sulawesi Tengah
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved