Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Ombudsman Sambut Positif Aturan Sanksi PSBB

Putri Anisa Yuliani
13/5/2020 06:36
Ombudsman Sambut Positif Aturan Sanksi PSBB
Petugas melakukan penindakan pelanggaran PSBB di kawasan Bundaran HI, Jakarta.(MI/PIUS ERLANGGA)

OMBUDSMAN Perwakilan Jakarta Raya memahami keinginan Pemprov DKI Jakarta untuk membuat aturan yang lebih teknis terkait sanksi bagi para pelanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Sebab, dalam Pergub No 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB Untuk Pencegahan Penularan Covid-19, Pemprov DKI masih harus menyandarkan sanksi pada UU No 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

“Ombudsman menyadari kompleksitas aturan sanksi dalam Pergub No 33 tahun 2020 yang rujukan sanksinya masih mengacu ke UU Karantina Kesehatan dan UU Wabah Penyakit Menular,” ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, Selasa (12/5).

Baca juga: Ombudsman Nilai Dasar Hukum Sanksi PSBB Lemah

Hal tersebut memicu kebimbangan di kalangan aparat penegak hukum. Karena jika sanksinya langsung merujuk pada kedua undang-undang tersebut, implikasi pelanggaran PSBB adalah sanksi pidana.

”Pilihan persuasif oleh aparat penegak hukum pada PSBB tahap I sudah merupakan pilihan paling logis karena tidak mungkin mempidanakan sekian banyak orang dengan sanksi pidana 1 tahun atau denda yang mencapai Rp100 juta hanya karena tidak memakai masker atau tidak mengetahui ketentuan Social Distancing,” tambah Teguh.

Pergub No 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi DKI Jakarta ditetapkan pada 30 April 2020.

“Secara substansi, Pergub ini sudah sangat komprehensif karena memuat sanksi bukan saja bagi pelaku individual tapi juga perusahaan yang tidak mengindahkan ketentuan PSBB. Hal ini penting karena potensi penyebaran covid-19 terbesar salah satunya dari diberikannya IOMKI (Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri) oleh Kemenperin ke perusahaan-perusahaan yang tidak dikecualikan untuk tetap beroperasi,” papar Teguh.

Pengetatan melalui sanksi ini sangat penting agar perusahaan-perusahaan mematuhi aturan PSBB. Sebab, dari hasil sidak Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI mendapati sudah ratusan perusahaan yang mendapat izin Kemenperin terbukti tidak melakukan protokol kesehatan secara maksimal hingga akhirnya mendapat peringatan.

“Peristiwa penyebaran covid-19 kami temukan di beberapa kawasan industri seperti di kawasann MM Cikarang dan juga pabrik di Bandung yang sudah mendapat izin operasi dari Kemenperin, kami khawatir ini fenomena gunung es kalau ada pemeriksaan potensi covid yang memadai di perusahaan-perusahaan tersebut bisa jadi angkanya jauh lebih besar" lanjut Teguh.

Hanya saja, Ombudsman Jakarta Raya meminta Pemprov DKI menyelaraskan ketentuan sanksi dalam Pergub tersebut dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa peraturan yang memuat sanksi hanya UU atau perpu dan perda.

“Sanksi merupakan pengurangan hak seseorang atau warga negara dan karena merupakan pengurangan hak, produknya harus dihasilkan oleh pemerintah dan perwakilan masyarakat, dalam hal ini DPRD,” ujar Teguh.

Ia pun mendorong agar Pemprov DKI bisa meningkatkan aturan sanksi PSBB dari pergub menjadi perda. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya