Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Tangkal Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok Butuh Strategi Jangka Panjang

Cahya Mulyana
07/9/2018 14:25
Tangkal Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok Butuh Strategi Jangka Panjang
(AFP/JUSTIN SULLIVAN)

POLITIKUS Partai NasDem sekaligus Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hatari menyarankan pemerintah untuk terus mengantisipasi dampak negatif perang dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok. 

Itu bukan hanya berkutat menjaga nilai tukar rupiah namun membangun peta ekonomi baru dan berjangka panjang.

"Perlu secepatnya mengambil langkah-langkah strategis dengan mulai mencari pasar ekspor alternatif selain AS dan Tiongkok," terangnya dalam keterangan resmi. Jumat 7/9.

Menurut dia, menghadapi situasi perang dagang antara AS-Tiongkok yang makin memanas sudah seharusnya pemerintah mengambil berbagai langkah antisipatif. Pasalnya selain berdampak pada stagnasi pertumbuhan ekonomi global, genderang perang dagang yang ditabuh AS juga disebut akan mengarah kepada produk-produk ekspor nasional.

Hatari mengatakan, moncong perang dagang mengarah juga kepada produk-produk nasional dan sangat menghawatirkan. Mengingat AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, selain Tiongkok dan Jepang.

Jika dilihat dari riwayatnya pun, share ekspor ke AS dari tahun ke tahun selalu menempati lima besar. Berdasarkan data dari Trade Map dan CEIC, share ekspor Indonesia ke AS terus meningkat dari tahun ke tahun, yakni 9,4% (2014), 10,9% (2015), 11,3% (2016), dan 10,6% (2017).

Ekspor Indonesia ke Amerika tercatat sebagai yang terbesar kedua setelah ke Tiongkok. Pada 2017, Indonesia mengirim berbagai barang atau produk ke Amerika senilai US$17 miliar atau sekitar Rp240 triliun. Sementara nilai barang yang dikirim Amerika ke Indonesia tak sampai separuhnya.

Namun saat genderang perang dagang ditabuh, pemerintah AS dibawah Trump telah mengancam akan mencabut fasilitas Generalized Sisytem of Preference (GPS) yang mereka berikan kepada Indonesia untuk 124 produk yang diekspor ke Negara Paman Sam itu.

"Tindakan ini sangat berbahaya bagi keuangan Indonesia, karena Jika fasilitas itu dicabut, Indonesia harus membayar bea masuk atau pungutan lain sebesar US$1,95 miliar atau hampir Rp28 triliun," ungkapnya.

Jadi, kata Hatari, menyikapi berbagai manuver yang dijalankan oleh AS itu, sudah saatnya, pemerintah tidak menganggap remeh dampak buruk yang diturunkan dari terjadinya perang dagang AS versus Tiongkok ini.

"Selama ini kita memang terkesan terlalu terpaku kepada kedua negara ekonomi terbesar ini dalam memasarkan produk ekspor. Selain itu, kita juga perlu melakukan inovasi baru dalam ekspor, diversifikasi produk. Ini memang tidak semudah membalikan telapak tangan, namun percayalah bahwa langkah jangka panjang ini akan berguna dalam menjaga perekonomian kita ke depan," paparnya

Hatari juga menyarankan pemerintah menjaga soliditas khususnya dalam mengambil langkah yang sinergis sehingga bisa meminimalkan dampak buruk perang dagang bagi perekonomian nasional. 

"Kekompakkan antar departemen ini sangat diperlukan karena banyak hal yang harus diubah untuk mengikuti dinamika perdagangan internasional yang kian tak menentu saat ini," jelasnya.

Batas berakhirnya perang dagang memang tidak bisa diprediksi, lanjut Hatari, namun juga tidak bisa dihindari dampaknya. Oleh karena itu, pemerintah juga harus melakukan penyesuaian sehingga dapat beradaptasi di tengah perekonomian global yang terus menggeliat dengan disertai sejumlah kebijakan yang tidak terduga.

"Menghadapi kemungkinan membanjirnya barang-barang ekspor di dunia. Maka pemerintah dapat menerapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) atau non-tariff barrier (NTB) untuk mengendalikan impor yang dapat membanjiri Indonesia sebagai peralihan pasar Tiongkok maupun AS yang sedang bersitegang," pungkasnya. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya