Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
MEMANASNYA dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, berikut normalisasi kebijakan moneter negara maju, memberikan sentimen negatif terhadap nilai tukar rupiah. Pelemahan kurs bahkan sempat menyentuh level Rp14.500 per dolar AS.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memandang depresiasi kurs yang terjadi sejauh ini belum terlalu mengkhawatirkan. Namun, pemerintah bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetap berupaya menahan laju pelemahan rupiah agar tidak terlalu dalam.
Mengacu kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), perdagangan rupiah per 20 Juli 2018 ditutup pada level Rp14.520 per dolar AS.
"Jangan menganggap kurs itu kalau masih perubahannya Rp50-100 per dolar AS itu bahaya. Tidak ada bahayanya di situ. Tapi tidak berarti (kurs bergerak pada level) Rp20 ribu per AS, tidak apa-apa juga ya. Kita usahakan pelemahannya jangan terlalu jauh, dari kebijakan yang diambil bersama Bank Indonesia dan OJK," tutur Darmin saat ditemui di kantornya, Minggu (22/7).
Masyarakat dikatakannya harus memahami gejolak global yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Hal ini penting agar kekhawatiran terhadap depresiasi kurs tidak terlalu berlebihan. Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi sejauh ini tidak lepas dari gejolak global. Sebut saja dampak negatif perang dagang antara AS dan Tiongkok yang meluas ke sejumlah negara mitra dagang.
Selain itu, normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan negara maju turut mengguncang ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satunya kebijakan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (Fed Fund Rate/FFR) sebanyak empat kali pada tahun ini.
Di saat mata uang sejumlah negara berkembang melemah, Tiongkok sengaja melakukan depresiasi yuan sebagai antisipasi dampak perang dagang.
"Kita tidak bisa menghindar dari perang dagang yang pasti mempengaruhi nilai tukar. Kenapa kurs masih melemah, ada dua penyebabnya. Selain persoalan perang dagang, ada juga normalisasi kebijakan moneter di negara maju. Gubernur The Fed mengumumkan anak mem-push (suku bunga acuan) supaya inflasi di AS meningkat. Sebaliknya Tiongkok membiarkan mata uangnya melemah agar barangnya lebih murah di AS," urai mantan Gubernur Bank Indonesia.
Pemerintah, sambung dia, masih mewaspadai dampak gejolak ekonomi global terhadap keluarnya arus modal asing (capital outflow). Dalam mengatasi pelemahan kurs dan capital outflow, Bank Indonesia telah beberapa kalo menaikkan suku bunga acuan (BI 7-Day Reserve Repo Rate/DRRR) yang kini berada di level 5,25%.
Di satu sisi, pemerintah fokus merumuskan kebijakan percepatan kinerja ekspor dan memperlambat arus impor, khususnya dari sektor minyak dan gas (migas). (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved