Listrik Guna Mendorong Perekonomian

Jessica Restiana Sihite
13/3/2017 06:30
Listrik Guna Mendorong Perekonomian
(MI/GALIH PRADIPTA)

DI awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya pembangunan pembangkit listrik lantaran masih banyak daerah yang terkena pemadaman listrik bergilir.

Presiden pun mematok rencana pembangunan pembangkit sebesar 35 gigawatt (Gw).

Namun, hingga saat ini, di setiap kunjungan daerah Presiden, masyarakat masih mengeluhkan minimnya pasokan listrik ke rumah-rumah mereka.

Pembangunan pembangkit pun diduga berjalan lambat sehingga belum mampu mengubah kondisi kelistrikan di Tanah Air.

Wartawan Media Indonesia Jessica Restiana Sihite berkesempatan mewawancarai anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari kalangan akademisi, Tumiran.

Dia mengungkapkan kondisi kelistrikan nasional dengan berbagai hambatan dan tantangan yang ada.

Berikut kutipan wawancara dengan Tumiran di Kantor DEN, Jakarta, Kamis (9/3).

Bagaimana Anda melihat kondisi kelistrikan Indonesia saat ini?

Kelistrikan itu harus ada pemahaman yang komprehensif bahwa listrik itu bagian dari infrastruktur nasional yang memang diperankan untuk mendorong perekonomian.

Yang dimaksud menggerakkan perekonomian ialah bisa memunculkan industri.

Industri muncul, lapangan kerja tercipta. Adanya lapangan kerja bisa meningkatkan daya saing kita secara ekonomi, sosial, dan budaya.

Kemudian, produk bisa dihasilkan di dalam negeri.

Akan tetapi, kalau listrik tidak ada, industri tidak tumbuh, lapangan kerja tidak tercipta, penghasilan masyarakat tidak bisa tinggi.

Itu yang harus diperhatikan saat ini.

Untuk menjadi penggerak perekonomian, ada tiga syarat.

Pertama, harus cukup suplainya.

Kedua, listrik itu andal alias tidak mudah mati.

Ketiga, ekonomis atau harga jangan terlalu mahal.

Harga listrik itu harus menjadikan industri pengguna bisa berkompetisi.

Jadi, misalnya harga listrik di Indonesia lebih mahal daripada Malaysia atau Thailand, tentu produk kita tidak bisa berkompetisi.

Makanya kita harus mengupayakan bagaimana harga listrik itu harus mengarah keekonomian berkeadilan supaya industri bisa berdaya saing.

Apa bisa harga listrik itu murah?

Mestinya bisa karena kita punya batu bara.

Itu kita andalkan dulu untuk mendorong perekonomian kita.

Lalu, bagaimana kondisi kelistrikan kita?

Kita masih kekurangan pasokan.

Sangat kurang.

Bayangkan, kapasitas listrik kita masih 58 gigawatt (Gw).

Artinya, pasokan per kapita baru 210 watt per kapita. Bisa apa kita dengan besar itu? Itu pasokan.

Bandingkan dengan Tiongkok.

Mereka sudah punya 1.508 Gw dan jika dibandingkan dengan total penduduknya yang sekitar 1,38 miliar, pasokan mereka sudah di atas 1.100 watt per kapita.

Gap terlalu jauh.

Malaysia itu, kapasitas pasokannya 950 watt per kapita.

Singapura 2.500 watt per kapita.

Jadi, kalau dilihat angka itu, kita sangat kurang.

Idealnya seperti apa?

Idealnya supaya bisa menjadi tulang punggung ekonomi, ya, minimal 1.000 watt per kapita.

Jadi kita butuh 260 Gw. Kalau negara maju kayak Jepang, pasokannya sudah di atas 2.000 watt per kapita.

Untuk apa pasokan sebesar itu? Supaya pertumbuhan industri kuat. Lihat negara yang listriknya cukup seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Inggris, industri bisa tumbuh.

Lalu, coba kita lihat Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, bisakah saudara-saudara kita menikmati listrik seperti di Jawa?

Tidak bisa karena pasokan listriknya tidak cukup.

Pemerintah sekarang sudah capek mengundang investor untuk berinvestasi.

Begitu melihat infrastruktur listrik di sini tidak cukup, mereka tidak mau.

Makanya, Dewan Energi Nasional melalui PP 79/2014 menargetkan 2023 diharapkan konsumsi per kapita nasional bisa mencapai 2.500 Kwh per kapita.

Itu pasokannya minimal 115 Gw.

Konsumsi sekarang baru 925 Kwh per kapita.

Malaysia sudah di atas 4.000 Kwh per kapita, Tiongkok 4.500 Kwh per kapita, Jepang 7.000 Kwh per kapita.

Namun, itu bukan berarti kita hemat, lo. Kalau ada orang yang bilang 'Indonesia bisa kok dengan konsumsi 925 Kwh per kapita', iya memang.

Akan tetapi, coba lihat daya saing nasional kita. Ada berapa industri yang tumbuh?

Itu semua bergantung pada listrik kita.

Jadi, Kebijakan Energi Nasional (KEN) ditargetkan bisa mencapai 115 Gw.

Lalu, 2050 target kapasitas kita 440 Gw supaya konsumsi per kapita kita bisa mencapai 7.000 Kwh per kapita pada 2050.

Jadi, target Presiden Jokowi 35 Gw itu cukup?

Target Presiden Jokowi sewaktu awal menjabat itu menurut pandangan saya adalah keputusan yang tepat.

Tidak ada yang salah. Terobosan beliau luar biasa dengan mematok 35 Gw.

Namun, orang-orang kan seperti kelimpungan, bisa tidak sih 35 Gw itu? Pertanyaan itu menunjukkan orang-orang itu tidak mengerti kebutuhan kita.

Maka diperlukan peran sektor lain di pemerintah untuk menjawab kenapa perlu pasok listrik.

Kita perlu investasi untuk menggerakkan industri yang bisa menaikkan daya saing nasional.

Itu harus digerakkan sektor lain.

Kementerian Perindustrian bergerak, Kementerian Perdagangan bergerak, BKPM bergerak, pemerintah daerah (pemda) bergerak dan bersinergi membuat bagaimana pasokan listrik yang akan tumbuh segera dimanfaatkan.

Kalau tidak dimanfaatkan, ya, memang mubazir. Pola pikirnya, PLN menyiapkan listrik dan pemda, Kemenperin, BKPM, Kemendag secara bersama menyiapkan industri dan usaha menyerap listrik. Jangkauan panjang itu kita pikirkan di dalam KEN.

Namun, kalau sekarang kita berpikir tidak perlu 35 Gw, cukup 20 Gw, itu keliru.

Presidennya sudah bagus, yang melaksanakannya keliru.

Kalau ada alasan nanti tidak bisa menyerap energi, lalu kenapa negara lain bisa menyerap dan membangun industri?

Kenapa kita tidak bisa?

Apa yang salah?

Pola pikir.

Pasokan listrik kurang, tapi bila dibandingkan dengan kondisi listrik yang tidak merata di Indonesia, mana yang lebih penting?

Simultan. Semua rakyat harus dapat listrik.

Kalau pasokan tidak cukup, bagaimana mau memeratakan?

Jadi harus simultan.

Yang belum dapat listrik, dialirkan.

Yang kelebihan pasokan, dimunculkan industri sehingga industri yang tumbuh membuat orang yang tadinya tidak mampu membayar listrik bisa menjadi mampu.

Makanya, perlu strategi baru dari PLN untuk menggerakkan permintaan dan menciptakan pasar.

Apakah Anda optimistis 35 Gw akan tercapai pada 2019?

Tidak.

Sampai 20 Gw pun saya yakin tidak akan sampai karena PLN sudah terlalu terlambat membangun infrastruktur listrik.

Makanya Presiden Jokowi sampai harus melakukan gebrakan karena di awal sangat lambat.

Kendala yang kerap terjadi juga, terutama di pembangkit berbasis EBT, kan soal negosiasi feed in tariff yang lama.

Itu bagaimana?

Dari segi pembangkit, sebenarnya bisa dibuat suatu analisis biaya oleh PLN.

Terlalu lama negosiasi, terlalu lama pembangkit itu dibangun.

Kita sudah bilang ke PLN supaya ada timeline untuk negosiasi.

Memang PLN yang kemurahan menetapkan tarif atau investor yang kemahalan?

Saya tidak pernah masuk negosiasi, tapi itu ada benchmark yang bisa kita ukur.

Ada standarnya kok.

Jadi, di sekitar itu saja. PLN juga harus bisa mendesain pembangkit.

Ajak industri dalam negeri untuk proyek itu.

Dalam RUPTL terbaru, PLN malah menghilangkan pembangunan kabel Jawa-Sumatra. Apakah itu benar dihilangkan?

Sepertinya, belum. Apa alasannya?

Kalau proyek kabel Jawa-Sumatra dihilangkan, besok pasokan pembangkit di Jawa kan dari batu bara.

Bayangkan mau angkat batu bara dari mana?

Sumatra atau Kalimantan?

Apa kita tidak kasihan dengan Sumsel, batubaranya diangkat?

Lebih baik pembangkitnya di sana, lebih murah karena di mulut tambang.

Saya rasa itu jangan dibatalkan, tetapi dipertimbangkan ulang saja.

Itu kan untuk jaringan transmisi Sumatra-Jawa.

Dari banyak perbincangan, sepertinya kinerja PLN kurang memuaskan. Apakah artinya PLN perlu direformasi?

Bukan direformasi, pola pikir yang diubah karena dia satu-satunya perusahaan yang diamanatkan untuk menyiapkan pasokan listrik.

Jadi, jangan berpikir harus untung besar, tapi harus berpikir untung untuk negara.

Perusahaan harus untung, itu wajar, tapi harus ada akselerasi pembangunan.

Harapan Anda terhadap kondisi kelistrikan Indonesia?

Harapan saya, listrik itu menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia sehingga bisa mendorong perekonomian.

Listrik harus bisa menjadi tulang punggung industri dan menjadi ruang pasar bagi produk-produk industri domestik.

Semua negara yang industrinya maju didukung listrik dan industri komponen listrik yang kuat.

Indonesia juga harus punya industri komponen listrik yang besar.

Bisa melalui anak PLN dan di situ bisa memanfaatkan kecerdasan anak bangsa, yakni dari ITB, ITS, UGM, UI, dan lainnya.

Jadi ada ruang reformasi. (B-1)

BIODATA

Tumiran

Tempat, tanggal lahir : Binjai, Sumut, 23 Agustus 1959

Pendidikan:
- S-3 Production and Information Sciences Saitama University, Jepang, 1996
- S-2 Electrical Power System Saitama University, Jepang, 1993
- S-1 Bidang Teknik Elektro UGM 1985
- SMA Negeri I Binjai, Sumut, 1979

Karier:
- Dosen Jurusan Teknik Elektro FT UGM, 1986 sampai saat ini
- Anggota DEN periode 2004-2009 dan 2009-2019
- Wakil Ketua Panja Kebijakan Energi Nasional DEN 2011-2014
- Dekan FT UGM periode 2008-2012 dengan jumlah mahasiswa 11 ribu orang
- Reviewer Penelitian Bidang Energi Lembaga Pengelola Dana Pendidikan
(Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama) 2013 sampai saat ini
- Tim Ahli Kajian Mobil Listrik Nasional LPDP, 2014, 2015, 2016
- The SC Board Member Kerjasama Indonesia Swedia di INSIST (Indonesia
Swedish Initiative for Sustainability Technology) 2013 sampai saat ini
- Koordinator Pengembangan Kurikulum Renewable Energi untuk Post Graduate Program, United Nation University, Tokyo, 2012, dan pengajar di United Nation University, 2010 sampai saat ini
- Ketua Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM 2003-2008
- Ketua Forum Pendidikan Tinggi Jurusan/Dept Teknik Elektro Indonesia,
2006-2008
- Ketua Dewan Pakar Assosiasi Profesional Elektrikal Indonesia
Yogyakarta 2008-2012
- Ketua Umum Forum Pendidikan Tinggi Jurusan/Prodi Teknik Elektro
Indonesia 2006-2008
- Ketua Program Pascasarjana Teknik Elektro UGM 2002-2004
- Wakil Ketua Umum Masyarakat Kelistrikan Indonesia Jawa Tengah dan DIY 2000-2004
- Pengagas/inisiator pendirian Pusat Studi Energi UGM 1996



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya