Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
SALAH satu kekuatan utama Teater Koma ialah naskah cerita yang digubah oleh Nano Riantiarno. Selain piawai mengawal teknis pertunjukan, seperti kostum, musik, dan artistik, Nano dikenal sebagai sutradara yang banyak menghasilkan naskah beragam, baik gubahan, saduran dari lakon Tiongkok, maupun dari dramawan dunia.
“Naskah asli saya sebenarnya lebih banyak jika dibandingkan dengan yang saduran,” kata Nano.
Menurut Nano, dalam menyadur naskah, ada hal yang tidak boleh hilang, yakni masalah ketimpangan sosial. Selain itu, dalam proses penyaduran harus banyak mempertimbangkan unsur kelokalan sehingga naskah yang disadur tidak kehilangan roh sekaligus bisa diterima penonton Indonesia.
“Jadi harus menjadi sesuatu yang milik kita. Inti yang tidak boleh hilang ialah bicara tentang ketimpangan sosial. Banyak sekali naskah asing yang memuat itu,” terangnya.
Usia Nano memang tak lagi muda, tetapi semangat berkarya tidak lantas hilang begitu saja. Ia tetap dengan aktivitas padatnya, terutama menulis. Begitu cintanya dengan menulis sampai-sampai ia berkata, “Jadi intinya saya harus nulis sampai saya tidak bisa nulis lagi.”
Menulis, menurutnya, juga menjadi rahasia Nano untuk selalu sehat dan bugar di usia senja. “Mungkin itu karena nulis. Jadi kalau nulis kan sehat,” ujarnya sembari melanjutkan dengan memperagakan orang sedang melakukan peregangan tubuh.
Di bawah Jembatan Semanggi
Siapa sangka, seorang sutradara hebat mengawali mimpinya dari bawah Jembatan Semanggi. Kala itu 1968, Nano bersama dua temannya.
“Saya punya dua sahabat namanya Frank Rorimpandey, satu lagi Boyke Roring. Jadi pada suatu hari kita duduk, tiduran di bawah Jembatan Semanggi pada 1968. Waktu itu kita belum jadi apa-apa,” kenang Nano.
Kedua temannya mengungkap keinginan untuk menjadi sutradara. Satu sutradara sinetron, satu lagi sutradara film. Mendengar keinginan kedua temannya, Nano pun menimpali keinginan mereka dengan keinginannya sendiri.
“Saya harus menjadi sutradara kelompok teater,” sahutnya.
Akhirnya, terwujudlah cita-cita itu. Ketika 1 Maret 1977 menjadi hari lahir teater yang sampai saat ini masih dipimpinnya. Ia bersama Ratna Riantiarno dan Syaeful Anwar mendirikan Teater Koma.
“Udah Koma, langsung. Koma itu tidak titik,” imbuhnya.
“Jadi sebetulnya dari dulu saya ingin menjadi orang yang memimpin sebuah kelompok teater,” pungkasnya.
Nano dan Teater Koma tetap yakin teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi.
Jujur, becermin lewat teater, diyakini pula sebagai salah satu cara untuk menemukan kembali peran akal sehat dan budi-nurani. Sikap saling menghargai perbedaan, menghargai sesama. (Zuq/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved