Empat Dekade Mempertontonkan Indonesia

Abdillah M Marzuqi
12/3/2017 07:16
Empat Dekade Mempertontonkan Indonesia
(Nano Riantiarno -- MI/Arya Manggala)

BAGAIMANA jika Mekhit alias Mat Piso, raja bandit Batavia yang semula akan digantung pada upacara penobatan gubernur jenderal, justru diangkat menjadi anggota dewan?
Lakon tentang era ketidakjelasan, ketika penjahat dinobatkan sebagai pahlawan, para petinggi hukum bersahabat dengan pencuri, dan sogok-menyogok menjadi kewajaran itulah, yang dikisahkan Teater Koma dalam lakon Opera Ikan Asin. Produksi itu bukan cuma istimewa karena bertepatan dengan usianya yang keempat dekade serta merupakan pentasnya yang ke-147, melainkan juga karena digelar di Ciputra Artpreneur, Lotte Shopping Avenue, Jakarta.
Bukan cuma karena lebih mentereng, melainkan perpindahan panggung ini juga menjadi penanda eksisnya Teater Koma. Kursi penonton tersedia 1.200, berkali lipat dari teater sebelumnya, selama pentas empat hari, mulai 2 hingga 5 Maret.
Mari berbincang dengan Nano Riantiarno tentang kiprahnya mengawal Teater Koma selama 40 tahun. Berikut petikan wawancara Media Indonesia seusai jumpa media Opera Ikan Asin, Kamis (23/2).

Apa resep Teater Koma langgeng, anggota dan tim betah di sini?
Saya sendiri tidak pernah tanya kepada teman-teman Teater Koma mengapa mereka betah. Namun, intinya, saya membuat mereka menjadi manusia.Artinya, ketika mereka di Teater Koma, apa pun peranan mereka, saya memanusiakan mereka. Ada juga kode etiknya, tinggal baca saja. Hubung­an kami adalah hubungan kemanusiaan, kami tetap terhubung.

Naskah yang dimainkan Teater Koma dikenal melintas ruang dan waktu, selalu aktual dipentaskan. Apa rahasianya?
Saya enggak tahu, mungkin beberapa penulis bagus, baik di Amerika Serikat maupun Indonesia, itu terutama kalau menyangkut masalah kemanusiaan dalam drama. Ceritanya bisa terhubungkan sampai kapan saja.
Misalnya Perang Yunani, itu 2.000 tahun yang lalu, 3.000 tahun lalu, sampai sekarang masih tetap kontekstual, kalau bicara tentang kekuasaan.
Saya kan bicara tentang kekuasaan juga sebenarnya. Misalnya dalam Opera Kecoa, tentang kekuasaan siapa, yang berkuasa, penindasan. Jadi kadang-kadang yang di­tindas, dia balik lagi jadi yang menindas. Bisa saja sekarang yang ditindas jadi yang menindas.
Jadi orang bisa menyebutnya ramalan. Misalnya, dulu saya menulis Bom Waktu, Opera Kecoa, kemudian Opera Julini.
Opera Julini, saya tulis 1986 dan ternyata 1998 itu terjadi di Jakarta. Para bandit me­nguasai Jakarta. Itu ramalan atau tidak? Saya tidak tahu. Beberapa penulis juga seperti itu, mereka meramalkan masa depan.

Bolehkah dibilang Anda selalu menulis tema-tema yang menyangkut isu-isu besar?
Ya, tema kemanusiaan. Itu saja sebetulnya. Jadi kapan saja bisa dipentaskan, selalu ada konteksnya.

Teater Koma selalu main dalam durasi yang panjang, mengapa?
Tiga jam itu pendek lo, saya bahkan pernah bikin 4,5 jam, judulnya Kenapa Leonardo? Karya penulis Slovenia, Evald Flisar. Enggak ada nyanyian dan bicara tentang orang gila.
Setelahnya ada yang telepon saya, tiga hari sesudah ia nonton. Jadi dia rupanya selama tiga hari diam, mikir. Jadi seperti itu.
Bukan mengherankan, melainkan luar biasa bagi mereka.

Banyak yang bilang Teater Koma selalu tentang politik?
Ya memang seperti itu, saya selalu bicara tentang ketimpangan sosial. Di situ saya tulis (sambil menunjuk ke properti pentas Opera Ikan Asin), ‘Kemiskinan bikin penguasa utang ke luar negeri’.
Seluruh kondisi sosial politik yang ada di Indonesia, saya harus melihatnya sebagai sebuah pembelajaran di masa depan. Kita bisa menjadi lebih baik kalau kita belajar.
Kalau kita tidak belajar, selesai. Tampaknya kita tidak belajar. Saya membikin lakon-lakon yang saya tulis dari pembelajaran itu. Itu enggak akan ada habis-habisnya. Kalau kita bicara tentang manusia, sampai kapan pun enggak akan ada habis-habisnya.
Jadi saya melihat itu sebagai pembelajaran terhadap diri saya, terhadap masyarakat, terhadap semua orang yang melihat pertunjukan saya.

Suka duka dalam berteater selama ini? Ketika Anda dicekal?
Saya itu sudah enam kali dilarang pentas selama 40 tahun, 15 kali diinterogasi, sudah 2 kali dibom.
Paling tidak, saya harus benar-benar paham konsekuensi yang saya lakukan di tea­ter, dalam kesenian, dalam kebudayaan.
Teman-teman wartawan datang kepada saya, menanyakan alasan dilarang, saya harus menjawab benar. Mudah-mudahan apa yang saya sajikan menjadi pembelajaran untuk masa depan.

Ada anggapan bahwa Anda berpolitik di panggung. Bagaimana menurut Anda?
Betul, jadi ketika awal-awal Teater Koma, banyak yang datang supaya aku turun ke jalan. Saya bilang, kamu saja yang turun ke jalan, saya di panggung.
Saya tidak mungkin turun ke jalan. Jadi saya tetap di panggung. Panggung inilah politik saya.
Jadi intinya, saya tidak akan mungkin turun ke jalan. Panggung adalah politik saya. Jadi silakan orang nonton, menjadikan ini sebagai pembelajaran politik untuk dirinya.
Jadi semuanya ada di sini (pernyataan sikap, edukasi). Jadi kalau orang mau lihat, pernyataan itu bisa terlihat.

Apa ada hal spesifik tentang kejadian atau isu politik yang diangkat dalam panggung, terutama dalam pementasan Opera Ikan Asin ini?
Enggak ada, sekali lagi bicara tentang manusia. Manusia itu kan seluruh badan, seluruh perasaan, seluruh otak. Itu ada di sini semua.

Bagaimana kalau penonton melakukan interpretasi bebas pada lakon yang dimainkan?
Ya, silakan.

Pesan paling kuat terkait dengan kondisi saat ini, pilkada misalnya?
Sebetulnya, kalau kita tidak menangani hukum. Kalau polisi kerjanya tidak beres, kalau orang-orang sering kali ngomong tentang ketidakadilan. Maka pilkada serentak bisa bikin bubar Indonesia. Seperti itu, tapi mudah-mudahan polisi bagus, hukum bagus, sehingga tidak ada demo. Coba kalau serentak ini kemudian di mana-mana tidak setuju pemimpin yang diangkat, kayak apa? Itu juga saya kritik.

Pilkada seperti apa yang diwakili dalam pentas ini?
Ya sepotong itu saja (Mars Pemilu dan ilustrasi orang mengacung-acungkan tangan). Namun, kan orang tahu. Mudah-mudahan polisi bagus, hukum bagus.
Sudahlah kalau sosok itu diakui sebagai pemimpin. Nanti kan ada pemilihan lagi. Beberapa tahun lagi ada pemilihan. Mbok legowo, ya sudah.
Pada penonton sebetulnya, bisa sampai enggak pesannya. Mudah-mudahan sampai. Saya kira sampai saat ini, buktinya sampai sekarang penonton Teater Koma masih ada.

Penonton Teater Koma yang terkenal militan?
Aku juga binggung, ada penonton tiga kali dia nonton bilang jelek. Kemudian dia telepon ke saya, bilang kalau kali keempat ini pentas jelek, dia berhenti jadi penonton Teater Koma. Sampai kayak gitu. Dia merasa memiliki.

Teater Koma dikenal sebagai teater dengan manajemen profesional, bagaimana Anda mengelola, apakah ada gaji bulanan untuk tim?
Enggak ada, itu mereka tahu dari dulu. Ada yang disebut manajemen terbuka, jadi mereka tahu berapa dapatnya, keluarnya.
Kita 40 tahun seperti itu dan sampai sekarang alhamdulillah enggak ada konflik.
Orang datang ke sini untuk belajar, di luar biasanya gajinya gede. Orang mau masuk sini biasanya untuk belajar. Makanya, saya enggak pernah ada kontrak-kontrak sebelumnya. Ini bukan PT, mereka tahu itu. Ini komunitas nirlaba, sangat nirlaba. Orang tahu di sini semacam workshop. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya