AREA dengan tulisan 'ruang kunjungan' di kusen pintu itu terasa hangat kendati kawasan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/12) sore diguyur gerimis. Bukan cuma karena siang sebelumnya matahari terbilang terik, tetapi juga karena pertemuan orang-orang di dalamnya cukup menguras emosi.
Ada Saodah dan Udin beserta lima kerabatnya di ruangan yang paling favorit para penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung itu. Mereka tengah melepas rindu dengan Yayan, 19, dan Didin, 18, keduanya saudara sepupu.
Yayan dan Didin pelan-pelan mengunyah biskuit, buah tangan yang dibawa sang ayah dan ibu serta saudaranya yang berboncengan dengan lima motor agar bisa sampai di sana dari Kabupaten Bandung hingga Sukamiskin.
Yayan dan Didin (semua nama, termasuk nama keluarganya disamarkan) ialah pelaku penghilangan nyawa orang di sebuah ladang di Kabupaten Bandung, dekat rumahnya. Mereka terseret kasus kekerasan bersama tiga kerabatnya yang telah dewasa. Hukuman yang diterima pun sama, sepuluh tahun, tetapi tempat buat menjalani sanksi berbeda.
Tiga saudara mereka, yang telah berusia di atas 18 tahun, dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan Bandung. Namun, karena masih berusia 16 dan 17 tahun ketika divonis, Yayan dan Didin dikirim ke LPKA Bandung.
Di pojok yang berbeda, tiga Anak Didik Lapas (Andikpas), dengan berseragam biru juga bercengkerama dengan para penjenguknya. "Selalu curhat pengen cepat keluar, Ma. Tapi saya bilang sabar saja, biar bisa ajuin PB dan remisi, yang benar di sini jadi hukumannya bisa dikurangi," kata Saodah. Dukungan regulasi Yayan dan Didin ialah bagian dari 160 penghuni LPKA Bandung yang punya kapasitas 468. Jauhnya selisih rasio antara kapasitas dan penghuni, kata Roni, Kepala Subseksi pembinaan LPKA Bandung, terjadi setelah pemberlakuan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selain berwujud pengoperasian LPKA Bandung mulai April 2013 serta diubahnya sistem dan infrastruktur 19 LP Anak menjadi LPKA, implementasi UU itu makin menegaskan pemberlakuan restorative justice atau hukum untuk pemulihan, bagi kasus yang melibatkan anak. Salah satu wujudnya, pemberlakuan diversi atau pengalihan penyelesaian kasus hukum yang melibatkan anak, dari jalur formal.
Syarat-syarat yang diajukan, kata Roni, di antaranya, ancaman sanksi penjara kurang dari 7 tahun. Kewenangan untuk melakukan diversi berada di tangan polisi, jaksa, hingga hakim.
Karena Yayan dan Didin divonis sepuluh tahun, dua pemuda yang tak punya ijazah SD itu kini menempuh masa pemulihan, istilah untuk menggantikan terminologi penjara di LPKA Sukamiskin. Keduanya tengah menunggu pembukaan program paket A untuk mendapatkan ijazah SD, melanjutkan ke SMP hingga SMA terbuka yang menginduk ke sekolah negeri yang kini telah beroperasi di LPKA. Motivasi Komitmen untuk sekolah, kemauan untuk mengikuti berbagai kegiatan tambahan seperti pesantren, servis HP, servis komputer, ternak koi, bertani hingga cukur, juga akan menjadi portofolio bagi keduanya untuk kemudian meraih target berikutnya, mendapat remisi dan pembebasan bersyarat (PB).
"Berbeda dengan dewasa, anak-anak mendapat kesempatan remisi hingga tiga kali, dewasa kan hanya dua kali. PB pun mereka bisa mendapat hingga setengah," kata Roni.
HAM Internasional Pada hari yang bertepatan dengan peringatan Hari HAM Internasional itu, hak-hak anak, termasuk yang berhadapan dengan hukum, dirintis dari Ruangan Kunjungan yang bisa dimasuki keluarga hanya dengan menyerahkan kartu identitas dan menunggu giliran, tanpa kewajiban di luar prosedur lainnya.
Kultur yang diwariskan antargenerasi, yang disebut Roni angkatan pertama hingga yang kini menghuni, juga menjadi penanda regulasi itu telah berwujud nilai-nilai. "Di sini enggak boleh merokok, widih kalau di luar mah, udah bukan rokok lagi kali. Kalau yang pertama datang cari masalah, lama-lama juga merasa, kalau terus kacau, ya akan merugikan sendiri, enggak punya teman," kata Ubed, penghuni yang terkena kasus pencurian kendaraan bermotor.
Ubed yang hingga kini belum bisa membaca karena pada usia balita sudah terpisah dari orangtuanya karena bercerai dan dititipkan pada sang nenek, sejak belia telah turun di jalan. Kini ia tengah merintis jalan menuju masa depan dengan belajar membaca, dengan mentor, Nanang, Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban yang sebenarnya tak punya kewajiban buat mengajar.
"Sambil menunggu paket A nanti berjalan, mudah-mudahan sebelum 2016 ini, di sela kesibukan, kami mengajar mereka," kata Nanang.
Di antara padatnya jadwal kegiatan, pilihan aktivitas yang beragam sesuai minat, juga jalur pendidikan dan vokasional yang terbuka lebar, anak-anak pun harus terpacu untuk bangkit. Negara yang tengah berikhtiar menegakkan hak mereka, juga tak bisa efektif berjalan jika anak-anaknya minim motivasi.
"Anak-anak ini kan, harus kita akui, memang berasal dari kondisi yang minus. Kurang dari segi ekonomi, keluarga, lingkungan, moral, norma, pendidikan. Kalau enggak kurang, ya enggak akan sampai ke sini. Belum lagi seperti layaknya anak-anak mereka juga masih galau. jadi, tantangannya ada di sistem, petugas dan juga anak-anak sendiri untuk mau bangkit," kata Roni. (M-2)