Masyarakat yang Anomali

(zuq/M-6)
29/11/2015 00:00
Masyarakat yang Anomali
(MI/ABDILLAH MARZUQI)
SESAAT sebelum melewati pintu masuk, pengunjung akan bertemu dua lukisan besar. Keduanya sengaja digantung dan dibiarkan berjuntai  tanpa dipasung rangka bingkai. Hanya saja, besi dirangkai menjadi semacam gantungan dengan dua besi kaki berpenahan di bawah. Setelah melewati daun kaca, ternyata lukisan yang digantung bukan dua, melainkan tiga. Pertama bertulis Share Shrink Heart Hurt dengan warna merah menyala, kedua bertulis I Love You Really Love You dan terakhir bertulis Cash of Clash. Ketiganya merupakan lukisan tenun karya Eko Nugroho yang dipamerkan di Galeri Salihara, Jakarta pada 22 November-21 Desember 2015. Pameran ini bertema Landscape Anomaly. Share Shrink Heart Hurt berukuran 269x 155cm.

Lukisan itu menampil dua manusia yang berhadapan. Tubuh keduanya saling mengambil jarak. Hanya kepala mereka yang beradu jidat. Benturan jidat keduanya menyiprat merah dan  menetes ke bawah. I Love You Really Love You berbesar hampir sepadan dengan lukisan sebelumnya, 277x156,5 cm. Sama juga menampak dua sosok dengan  hitam dominan. Mereka berpelukan dengan bendera masing-masing yang terhimpit antara tangan dan kepala. Cash of Clash pun tak jauh berbeda, masih dengan paduan apik merah, putih, dan hitam. Ukurannya pun menyerupa karya sebelumnya, 260x162 cm. Juga masih dengan dua sosok, namun salah satu sosok dipiting leher sosok yang lain. Ketiga karya lukisan itu dibuat dengan teknik sulam tangan. Sebuah kolaborasi antara Eko dan pembordir dalam menghasilkan lukisan itu.

Selain tiga karya tersebut, Eko juga memamerkan sejumlah karya seni rupa lain. Seperti Fasis Franchise (2015), Multi Dihasut Mono (2015), dan Hypocrite (2015). Tiap karya memiliki kritik atau cerita tersendiri. Meski demikian, menurut Eko, benang merahnya adalah anomali. Karya instlasi berjudul Ancient Series (2015) misalnya, menggambarkan empat tangan dengan beberapa memegang barang. Tangan pertama mengepal dan mengacung jari telunjuk, di bawahnya tertulis ancient morality. Berikutnya terdapat tangan yang mengenggam plastik besar dan di bawahnya tertuang ancient mentality. Tangan memegang pedang, ancient trend.

Terakhir tangan mengapit tongsis (tongkat narsis) lengkap dengan ponsel pintar di ujungnya, ancient happiness. Karya tersebut merupakan respons Eko terhadap kondisi sosial masyarakat yang cenderung instan. Gampang sekali mengonsumsi dan menyukai sesuatu secara euforia dan hedonis. "Ini kritik saya terhadap kita sendiri. Misalnya, membuang  sampah plastik, tapi bicara tentang lingkungan," terang Eko, di sela pembukaan pameran. Semua karya Eko bermaksud untuk meluapkan ketertarikannya terhadap fenomena anomali dalam masyarakat. Misalnya, instalasi berjudul 70 Tahun Dibuai (2015). Karya berbentuk bedeng dari kayu dan papan.

Eko bermaksud menggambarkan bagaimana sebuah kesejahteraan sebenarnya hanya buaian. 70 tahun masyarakat tampak seperti hidup dalam bedeng-bedeng. Di dalamnya mereka masih berharap pada mimpi-mimpi karena ada banyak poster artis dan makanan mewah. "Mimpi akan tetap menjadi mimpi. Kita dibuai di dalamnya," terangnya. Girang, riuh rendah, renyah,

dan main-main. Inilah sifatsifat yang kita dapat ketika memandang karya-karya Eko. Tapi, pada pandangan kedua, ketiga dan seterusnya, kita akan segera menyadari karya tersebut mengajak bersoal jawab dengan masalah tertentu, dan sering pula masalah itu serius. Begitu menurut Nirwan Dewanto dalam kuratorial. Menurut Nirwan, ciri karya Eko masih tetap bertahan, yaitu gabungan dari seni tinggi dan seni bawah, seni lukis dan komik.

Komentar-komentar politiknya juga jelas mengundang untuk bermain dengan simbol-simbol. Dalam arti kata tertentu bisa dikatakan plesetan, tapi dalam bentuk seni rupa kontemporer. "Yang dia (Eko) sebut anomali adalah untuk loncat dari yang standar dan umum. Meskipun menggunakan simbol-simbol yang diketahui bersama. Jadi karyanya komunikatif sekaligus membuat kita merenung," jelas Nirwan Eko mendadak menjadi buah bibir pada 2013. Kala itu, salah satu lukisannya berjudul Republik Tropis dipilih untuk  diproduksi menjadi scarf edisi terbatas oleh rumah mode Luis Vuitton dan dipasarkan di seluruh dunia. Tahun yang sama, Eko juga tampil di Paviliun Indonesia dalam International Art Exhibition di Venice Bienneale, Italia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya