TANGAN kanan Hendra Gunawan mantap menggenggam tiga bilah pisau berbentuk simetris. Kaki kiri kemudian ia langkahkan ke depan dan dilemparkanlah pisau-pisau tadi ke papan sasaran yang berjarak sekitar 5 meter. "Clear, clear, clear!" teriak Hendra setelah lemparannya tuntas. Teriakannya menjadi penanda bahwa kondisi lapangan sudah aman dari lemparan pisau. Dengan begitu, pelempar lainnya bisa mengambil pisau-pisau yang tertancap pada papan atau yang mereka sebut sebagai lock. Bersama Hendra, ada sepuluh orang lainnya yang Sabtu (21/11) itu berlatih lemparan pisau di lapangan bulu tangkis Jakamulya, Bekasi, Jawa Barat. Mereka merupakan pengurus serta anggota komunitas Metal Throwing Bekasi (MTB).
Komunitas yang berdiri 18 April 2014 ini merupakan cabang dari komunitas D'Lempis. Seperti yang ditunjukkan Hendra, kedua komunitas ini menjadi wadah para penggemar lempar pisau. Namun, jangan menstigma mereka sebagai orang-orang bertemperamen tinggi dan suka kekerasan. Kenyataannya hobi ini menuntut banyak latihan, kesabaran, dan konsentrasi.
Terlihat area sasaran, banyak pisau yang gagal menancap pada papan berbentuk bundar dengan warna hitam putih itu. Sebagian pisau menancap di luar papan atau malah jatuh ke tanah. "Kalau orang sepintas melihat, memang sepertinya mudah hanya melempar pisau ke papan sasaran. Namun, boleh dicoba jika rutin sehari 2 jam melempar, dijamin bagian tubuh seperti pergelangan tangan, bahu, dan punggung akan terasa pegal-pegal," ujar pengurus lain MTB, Herman Rochmawan. Herman menuturkan lama berlatih juga belum tentu menghasilkan lemparan yang baik jika tidak berkonsentrasi. "Konsentrasi itu nomor satu. Sangat sulit bagi seseorang tanpa konsentrasi yang baik untuk bisa menancapkan pisau ke lock, apalagi ke lingkaran paling tengah yang memiliki nilai tertinggi," sambungnya.
Pisau hingga kampakTidak hanya soal konsentrasi, untuk menguasai lemparan, mereka juga harus mengenal bermacam pisau. Jenis pisau yang digunakan sangat beragam, dari pisau berburu, senjata era kolonial, hingga pisau pemotong daging yang kerap ada di dapur. Salah satu pisau yang populer di kalangan pehobi ini ialah pisau Bowie. Pisau dengan bagian ujung melengkung itu muncul sejak 1830. Pisau itu diciptakan perajin senjata Amerika untuk seorang petarung terkenal di masa itu bernama Jim Bowie. Lalu ada pula kampak Tomahawk yang berasal dari budaya suku asli Amerika dan digunakan di masa perang kolonial.
Jika ingin tantangan lebih, tidak sedikit pula pelempar pisau yang menggunakan pisau daging yang besar. Lemparan menggunakan pisau ini tentunya bukan hanya butuh konsentrasi, tetapi juga tenaga ekstra. Untuk melempar pisau-pisau itu setidaknya ada tiga teknik umum, yakni spin (putaran penuh), half spin (setengah putaran), dan no spin (tanpa putaran). Lemparan spin, menurut Hendra, paling umum di kalangan para pemula dan amatir. Lemparan bisa dilakukan baik dengan memegang blade (ujung pisau) atau handle (gagang pisau). Sementara itu, lemparan half spin dengan memegang gagang pisau.
"Untuk jenis lemparan half spin, biasanya pelempar sudah cukup profesional karena cukup sulit untuk mengatur pisau hanya berputar sebanyak setengah putaran selama dilakukan pelemparan," tambah Hendra. Lemparan no spin paling jarang dilakukan pehobi. Lemparan itu lebih banyak digunakan untuk latihan prajurit di dunia militer. "Biasanya teknik ini digunakan militer karena memang perlu teknik khusus untuk bisa menerapkannya," sambung Hendra. Lemparan umumnya dilakukan di jarak sekitar 2-5 meter dari papan sasaran. Jarak lemparan itu, dikatakan Hendra, sesuai dengan jarak yang digunakan dalam lomba.
Ramah lingkunganSembari berolahraga, komunitas ini juga sangat memperhatikan lingkungan dan alam sekitar. Mereka berkomitmen untuk tidak merusak alam, sebab itu mereka tidak sembarang menjadikan pohon hidup sebagai sasaran. "Kita bersama dengan komunitas lempar pisau lain memang memiliki kode etik seperti tidak boleh menebang pohon sembarangan dan melempar pisau ke pohon yang masih hidup. Kami lebih memilih untuk membeli dan mengetahui jenis pohon tersebut," ungkap Herman.
MTB biasanya menggunakan tiga jenis batang pohon, yakni pohon rando, kapuk, atau sawit. Nantinya, batang pohon tersebut akan disesuaikan ketebalannya menjadi sekitar 15-17 sentimeter lalu diberikan warna sebagai pembatas untuk penilaian. "Biasa kami beli, harganya sekitar Rp70 ribu per batang pohon dan bisa digunakan bolak-balik selama kurang lebih tiga bulan. Tergantung intensitas penggunaannya saja," tandasnya.