Petani Rasa Sarjana

Fario Untung Tanu
29/11/2015 00:00
Petani Rasa Sarjana
(FOTO: MI/SUMARYANTO)
INDONESIA merupakan negara agraris yang melimpah dengan kekayaan alam. Sayangnya, sektor pertanian yang seharusnya menjadi penunjang kehidupan agraris mulai ditinggalkan anak muda. Mereka menilai profesi sebagai petani kurang bergengsi sehingga sebagian memilih untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Sebagian anak muda yang berprestasi memilih untuk kembali ke sawah dan menggarap lahan pertanian. Salah satunya Adi Pramudya, asal Pati, Jawa Tengah, yang mantap menjadi petani meski tidak menempuh pendidikan di jurusan pertanian. Siapa sangka, sebelum mantap menjadi petani, Adi sempat mengalami pahitnya hidup.

Berawal saat di Jakarta untuk kuliah, dirinya tidak memiliki uang untuk hidup sehari-hari. Guna menutupi biaya hidup kesehariannya ia berjualan pisang cokelat, jus, dan detergen. Namun, tidak semuanya berjalan mulus, ia sempat bangkrut kala berjualan pisang cokelat, ditangkap pihak keamanan ketika berjualan jus, dan tidak jalannya saat menjual detergen. "Saya jualan pisang cokelat sebenarnya sudah berjalan. Namun, setelah Lebaran, anak buah saya tidak balik-balik dan membuat semuanya kacau karena saat itu saya sedang kuliah, jadi tidak bisa memegang usaha itu. Setelah itu jualan jus, bangkrut juga karena gerobak saya dibawa sama Satpol PP," ungkap Adi.

Kemudian ia mencoba membudidayakan pertanian di Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, Jonggol, Jawa Barat. Lahan di daerah itu, kata Adi, masih sangat luas dan belum banyak masyarakat yang memanfaatkannya menjadi lahan pertanian. "Barulah ketika itu saya ke Jonggol, saya lihat lahan di sana masih luas dan belum tersentuh pembangunan. Terus saya mulai belajar sama petani-petani untuk mengetahui cara bertani," jelasnya. Akhirnya, anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Subroto dan Muipah itu memilih untuk membudidayakan beras dan berbagai jenis rempah-rempah seperti lengkuas, kencur, dan kunyit.

"Awalnya saya hanya menanam singkong karena itu yang paling mudah. Dan akhirnya saya mencoba ke komoditas lain yang lebih menguntungkan seperti lengkuas, jahe, kunyit, dan rempah-rempah jenis lainnya," sambung Adi. Kala menggarap lahan tersebut, Adi melibatkan masyarakat sekitar yang tidak memiliki pekerjaan. Tujuannya agar mereka memiliki penghasilan tetap dan kehidupan yang layak. Terbukti kini mereka sudah memiliki pekerjaan tetap. "Alhamdulillah saya bisa membantu masyarakat sekitar untuk mendapatkan penghasilan tetap karena total luas tanah yang saya garap 40 hektare dan bermitra dengan sebanyak 100 petani," ujar Adi.

Pemasok bumbu
Setelah lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana teknik industri dari Universitas Gunadarma, Adi tidak lupa diri. Sebaliknya Adi justru semakin fokus mengembangkan usahanya di bidang pertanian. Berbekal kerja keras, kemauan belajar, dan terus mengembangkan diri membuat usahanya berkembang pesat. "Saya tidak pernah berhenti belajar. Saya juga selalu belajar dari petani-petani senior untuk terus mengetahui cara bercocok tanam yang baik dan benar," kata Adi. Bahkan dalam dua tahun terakhir ini, Adi yang saat ini juga sedang mengikuti program strata dua sudah berhasil menguasai pasar induk di seluruh Jabodetabek sebagai salah satu pemasok bumbu dapur jenis lengkuas.

Tidak hanya itu, pria berusia 23 tahun tersebut juga sudah berhasil menembus pasar ekspor luar negeri seperti Jerman dan Belanda. Ke depannya, Adi terus berupaya mengembangkan bisnisnya di sektor agrowisata dengan membuat tempat wisata yang berisikan rempah-rempah serta mengekspor rempah-rempah yang dihasilkannya itu ke seluruh dunia. "Intinya saya memiliki prinsip bahwa selama orang masih makan, profesi petani itu masih dibutuhkan dan menguntungkan," pungkas Adi.

Maksimalkan potensi
Serupa dengan Adi, Nur Agis Aulia atau akrab disapa Agis ingin memaksimalkan potensi daerahnya dengan menjadi petani. Menurutnya, pemanfaatannya saat ini masih kurang optimal, padahal banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Saat melihat kondisi itu, Agis memutuskan pulang kampung setelah lulus dari Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan predikat cum laude. Ia kemudian ikut berkontribusi dalam mewujudkan swasembada pangan di daerahnya. "Awalnya memang dari kuliah. Saat kuliah itu saya sudah sering ke desa dan melihat banyak petani yang miskin, padahal profesi petani itu sangat penting," ungkap Agis.

Dana pemerintah yang dibagikan untuk sektor pertanian sangatlah besar, tapi tidak terlihat akibat minimnya inovasi dan kreativitas yang dimiliki petani sekarang yang memasuki umur senja. "Saya pikir memang dunia pertanian saat ini kurang inovasi. Kalau soal inovasi, mungkin sulit bagi petani yang sudah berumur 40-50 tahun. Jadi saya pikir harus ada pemuda yang mau turun tangan untuk menjadi petani sehingga bisa menciptakan inovasi-inovasi dan teknologi untuk pengembangan pertanian Indonesia," jelas Agis. Agis pun mulai merintis usahanya dari peternakan sapi perah, kambing, dan domba. Selain itu, ia berkebun sayur.

Di balik itu, Agis mengaku sempat kesulitan diterima para petani yang usianya di atas Agis. Secara perlahan ia bekerja keras dan melakukan pendekatan secara baik, hingga akhirnya diterima dan bisa bekerja sama dengan para petani. "Awalnya sulit. Mereka para petani berpikir mau ngapain anak muda seperti saya, bukannya kerja kantoran tapi justru malah bertani," kenang Agis. Dengan keahliannya di lahan pertanian, Agis akhirnya berhasil memanen dengan hasil yang baik di lahan sewaan seluas 2.000 meter persegi. Sejak itu petani setempat percaya dan menerima dirinya.

"Ketika saya memformulasikan pupuk-pupuk kandang yang didapat dari olahan dan bisa menghasilkan panen yang bagus, akhirnya para petani mau mencoba dan tidak bergantung terus-menerus pada pupuk kimia yang harganya mahal," sambung Agis. Sukses memberikan pengaruh positif bagi perkembangan masyarakat di desanya, pada 2014 Agis menjadi salah satu pencetus Komunitas Banten Bangun Desa. Komunitas itu didirikan untuk memajukan taraf hidup masyarakat Banten melalui sektor agropreneur.

"Dilihat dari peluang masyarakat setempat di sini memang dari sektor agro dan peternakan. Agis mencoba menggerakkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki bersama dengan kawan-kawan lainnya. Beliau memang salah satu sarjana yang langsung mengaplikasikan ilmunya ke lapangan dan tergerak untuk membantu masyarakat kecil, khususnya petani," ungkap Firman Syamsul selaku Ketua Banten Bangun Desa. Selain sibuk dengan usahanya, Agis mengajari anak-anak di desanya tentang enaknya menjadi seorang petani dan peternak. Agis berharap apa yang dirintisnya saat ini bisa memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar serta mengoptimalkan potensi yang dimiliki desanya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya