DUNIA anak-anak merupakan dunia yang penuh dengan fantasi dan imajinasi. Seperti yang terlihat di Campuhan College, Ubud, Bali. Teriakan riang, langkah kaki anak-anak yang berkejaran, berpadu dengan nada-nada gamelan Bali yang riang. Seorang kakek terlihat semringah di antara puluhan anak usia sekolah dasar yang asyik berlarian. Guratan tua di sekitar wajah semakin kentara saat ia tersenyum lebar. "Kalian senang, kan, semuanya? Kalian sudah bermain, sekaligus berolahraga. Tadi Bapak dengar, anak-anak juga tertawa bersama teman-teman baru, ya," ujar pria itu.
Ia adalah Made Taro, 76, pendiri Rumah Dongeng yang berubah nama menjadi Sanggar Kukuruyuk pada 1979. Ia telah menerbitkan lebih dari 30 buku dan menghadiri banyak festival cerita internasional. Pada 2008, ia menerima penghargaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sebagai maestro tradisi lisan, dan Anugerah Kebudayaan (Culture Award) pada 2009 dari Presiden Indonesia. Dalam dunia dongeng dan permainan tradisional Bali, Made Taro bukanlah nama yang asing. Masa kanak-kanak pria kelahiran 1939 di Desa Sengkidu, Karangasem, Bali, itu memang penuh keriangan.
Makanya, saat menemukan sekumpulan anak tetangga yang bengong dan tidak melakukan apa-apa di dekat rumah, benaknya tersentak. "Waktu itu tahun 1968. Saat itu, saya masih menjadi guru SMA 2 Denpasar dan tinggal di mes guru. Saya lihat anak-anak itu kok tidak ceria. Jauh berbeda dengan saya ketika masih seusia mereka," cerita Made. Hatinya tergerak. Tangannya bekerja cepat membuat layang-layang dan mobil-mobilan. Ketika Made Taro mulai bercerita, tercipta suasana yang lebih akrab. Sejak itulah, ia rajin berkisah. Made Taro berburu cerita, mulai dari buku hingga koran. Ia juga kerap menceritakan kisah-kisah yang akrab ia dengar ketika masih kecil. "Memang tidak semua dongeng cocok diceritakan, apalagi untuk masa sekarang. Misalnya kisah-kisah yang terlalu banyak menceritakan kepasrahan akan kemiskinan, lantas tiba-tiba kaya karena mendapat jimat. Itu kan tidak pas dengan realitas, karena orang harus berusaha sekuat tenaga," jelas Made panjang lebar. Sanggar bermain Upaya Made Taro mendapat tanggapan positif. Setiap sore ia rajin bercerita kepada anak-anak tetangga. Kegemaran baru itu yang kemudian menjadi kesempatan untuk melatih disiplin pada anak-anak. Misalnya, sebelum mendengarkan cerita, mereka harus sudah mandi dan mengerjakan pekerjaan rumah, juga harus sudah makan dan berpakaian rapi. Tak cukup bercerita, Made Taro juga mengajarkan permainan tradisional yang dimainkan saat ia kecil. Anak-anak itu tergelak riang dan jauh dari rasa bosan.
Pada 1973, ia mendirikan sanggar bermain anak-anak. Kala itu, Made belum memberi nama, hingga pada 1979, ia memberi nama Sanggar Kukuruyuk. Kini, sanggar milik Made Taro di Denpasar itu masih dipenuhi anak-anak usia sekolah dasar belajar menyanyi, bermain, dan bercerita. "Pendidikan bisa didapatkan dengan cara yang menyenangkan. Jadi mereka mudah dan terbiasa untuk menerapkan dalam aktivitas sehari-hari," kata Made. Pada awal pendirian sanggar, Made Taro mulai menginventarisasi permainan tradisional ke seluruh pelosok Bali.
Alumnus Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali itu berhasil mengumpulkan sekitar 200 permainan tradisional dalam rentang waktu dua tahun. Namun, hanya 20 yang masih familier. Respons orangtua pun positif, apalagi banyak anak saat ini yang ketagihan permainan modern yang membuat anak menjadi individualis. Kehadiran permainan tradisional menjadi media sosialisasi. "Anak-anak itu tadinya tidak saling kenal. Tapi sekarang mereka seperti kawan lama yang kerap bertemu," ujar Made Taro sembari menunjuk sekumpulan anak yang tengah bercanda.
Permainan tradisional, kata Made Taro, mengajarkan disiplin pada aturan yang sudah disepakati awal permainan. "Yang penting ialah mengasah kepribadian seseorang. Anak belajar sportif menerima kemenangan dan mengakui kekalahan. Emosi kalah itu harus dilatih. Begitu juga emosi marah, kecewa, takut, sama seperti melatih emosi senang dan bangga. Agar tidak sombong, tapi juga tidak minder," jelas Made. Ciptakan mainan Tak cuma mengumpulkan permainan tradisional yang sudah ada, Made Taro juga menciptakan permainan. Hingga kini, ia menciptakan sekitar 12 permainan. Terinspirasi dari perilaku binatang pada dongeng tradisional, misalnya permainan kelik-kelikan atau sepit-sepitan yang kini menjadi permainan favorit anak-anak. Burung elang yang kerap mencaplok burung-burung kecil, diwakili oleh seorang anak yang berlari mengejar seorang anak lainnya. Jika ingin selamat, anak itu harus bergabung dengan kelompok anak lain yang berbaris.
Sebagai gantinya, anak lain yang berdiam di kelompok itu harus ganti berlari. Puluhan tahun Made Taro mengaku tak pernah bosan. Terus berdekatan dengan dunia anak-anak seolah terus mengisi energi raganya yang tak lagi muda. Ia juga menulis cerita anak. Kini, 15 buku telah dihasilkan. Termasuk buku kumpulan cerita Bali yang telah didokumentasikannya. "Saya memang membukukan cerita tradisional yang dulu berkembang di masyarakat, yaitu cerita yang berkaitan dengan mitos, legenda, dan dongeng," ucap Made yang sempat mengajar ke sejumlah sekolah dasar di Darwin, Australia, itu. Ia tak pernah lelah untuk terus hadir dalam dunia anak-anak. Demi menyuarakan semangat positif kepada anak-anak. Senada dengan nama sanggarnya, Kukuruyuk, yang berarti suara atau nyanyian ayam menyambut fajar menyingsing. Seperti itu juga semangat Made Taro untuk terus memberi kesempatan bagi anak-anak menikmati dunianya yang indah dan menyambut kehidupan dalam semangat optimisme.