PERJUANGAN menuju puncak gunung sudah melahirkan banyak kisah dalam novel, film, dan ekspedisi ilmiah. Gagah dan keren. Bersyukurlah yang mampu berpayah-payah mendaki lalu turun lagi. Bagaimana dengan mereka, termasuk saya, yang ingin menikmati gunung tapi merasa tak punya cukup tenaga? Saya hampiri dulu Inerie dan Ebulobo dari Wolobobo, Bajawa. Perjalanan saya kali ini ialah bagian dari Flores Media Trip yang dikelola Flores DMO, Swiss Contact.
Kami wartawan dan bloger, termasuk si kondang Trinity 'Naked Traveler' bertemu di Denpasar, Bali, lalu terbang ke Labuan Bajo. Di kesempatan pertama, entah kenapa, pesawat ATR berbaling-baling itu urung menyentuh landasan Bandara Komodo lalu naik lagi. Ada apa? Tak perlu panik! Blessing in disguise. Saya malah diberi kesempatan sekali lagi mengabadikan pulau-pulau kecil cantik dari jendela pesawat 50 penumpang itu ketika berputar di atas Pelabuhan Labuan Bajo sebelum benar-benar mendarat. Setelah para bule dengan tujuan utama ke Pulau Komodo itu turun, pesawat terbang lagi menuju tujuan kami, Bandar Udara H Hasan Aroeboesman di Ende. Dua hari pertama kami habiskan untuk menikmati Bumi Pancasila, Ende, dan Riung 17 Island. Walau wilayah itu terkenal sebagai pulau kering dan panas, alam yang masih terjaga tetap menghembuskan kenyamanan.
Flores, pulau bunga Di hari ketiga, kami memasuki kesejukan dataran tinggi Flores, pulau bunga NTT, di Bajawa. Saya pertama kali mengenal ibu kota Kabupaten Ngada di Flores Tengah yang menjadi tuan rumah sejumlah desa adat lewat kopi single origin-nya yang tersohor: Flores Bajawa. Tiba jelang senja, kami tak bisa tak berhenti ketika cahaya keemasan melatari Ebulobo, di tanjakan Jalan Bajawa-Ende, hanya beberapa ratus meter dari tempat kami menginap, Vila Silverin. Dari teras atas belakang hotel pun ada suguhan tak kalah indah; kerucut sempurna Inerie.
"Besok dini hari, kita ke Bukit Wolobobo. Dari sana kita bisa melihat sekaligus Gunung Ebulobo dan Gunung Inerie saat matahari terbit," Janji Ferdinand Radawara, Alfredo Sua, dan Herry Wangge dari Adventrip yang terpilih sebagai pemandu wisata kami. Pernyataan mereka membuat makan malam di Lucas Restaurant jadi makin sedap. Apalagi sambil mendengarkan legenda tentang cinta segitiga gununggunung itu. Inerie dalam bahasa Ngada berarti Ibu Agung. Pemuda Ebulobo sangat mencintai Inerie. Tapi, masalah bilis (mas kawin) menghalangi niatnya untuk segera mempersunting. Ebulobo juga punya pesaing, pemuda Masih si pengawal Inerie. Ebulobo pun bertanding melawan Masih untuk memperjuangkan cintanya. Hatinya lara kala ternyata Inerie bukan saja memilih Masih, melainkan juga membantu menyerangnya dengan parang. Sejumput rambut Ebulobo terbabat dan jatuh di luar Aimere. Itulah mengapa, konon Ebulobo hampir selalu mengeluarkan asap, sebagai tanda kesiagaan menghadapi serangan. Saya pun cepat tidur di kesejukan dataran tinggi Bajawa. Sebelum dibangunkan panitia, saya sudah terjaga. Tak sabar! Sebelum pukul 05.00 Wita, dua minibus kami sudah meluncur menuju Bukit Wolobobo.
Proses menuju puncak tak pernah mudah. Inilah yang kami alami. Bayang an bahwa kami akan diantar mobil sampai puncak bukit buyar ketika ruas jalan aspal terputus 'hanya' dua belokan sebelum puncak. Hanya 20-an meter saja aspal tergerus menjadi tanah cukup berlumpur. Setelah beberapa menit memeriksa, para pengemudi, Ferdinand, Alfredo, Herry memutuskan bahwa sangat riskan bila mobil lewat. Ban bisa tertanam. Jadi, memang tetap harus ada usaha keras untuk menikmati puncak gunung, walau dari kejauhan, bukan langsung mendaki tubuhnya. Kami harus bergegas jalan kaki sampai puncak bukit untuk mendapat pemandangan terbaik matahari terbit. Masih ada sekitar 45 menit tersisa sebelum pukul 06.00 Wita, perkiraan matahari mulai merekah dari balik Ebulobo. Saya berjalan setapak- setapak di jalur aspal medaki yang di apit ilalang dan semak berbunga. Sesekali saya menengok ke kanan, arah timur, ke gunung setinggi sekitar 2.124 m. Puncaknya dengan bola merah saga yang mulai muncul, mengintip di antara sejumlah batang pohon kayu. Kala menoleh ke kiri, saya melihat kerucut lain; Gunung Inerie. Dua gunung berseberangan dengan kerucut seperti tumpeng sempurna ini, bagi warga setempat dianggap pasangan, dengan banyak cerita. Selain cerita yang sudah kami dengar semalam, konon, Inerie ialah istri Ebulobo yang punya nama lain Amburombu. Sayangnya, mereka tidak akur.
Di suatu pertengkaran, Inerie melemparkan sendok ke Ebulobo hingga satu giginya tanggal. Itulah mengapa ada sedikit lekukan di puncak Ebulobo. Diiringi cerita bahwa di dekat Inerie ada batu Jaramasih (kuda milik Masih) yang setia menunggu, saya terus melangkah, walau jaraknya dengan teman-teman yang lebih dulu naik kian jauh. Napas saya mulai terengah- engah dan langkah melambat. Wajar saja. Kami berada di ketinggian bukit tak kurang dari 1.000 m di atas permukaan laut. Walau mesti mengerahkan segenap tenaga, keindahan Ebulobo di awal pagi akhirnya bisa dinikmati. Tiap titik menawarkan keindahan tersendiri. Ilalang dengan bunga-bunga mungil menjadi latar elok. Juga juntaian semak, ranting, dan sebagian dedaunan pohon. Saya berhenti membidik ketika bola merah matahari benar-benar mulai berpendar, merekah sempurna. Saya ingin menyaksikan dengan mata telanjang berkah indah itu.
Sabana mini Kami melanjutkan langkah ke puncak Bukit Wolobobo. Kini saya lebih leluasa memperhatikan keindahankeindahan 'kecil' favorit saya yang terpaksa diabaikan dulu saat bergegas menuju puncak; ilalang dan semak berbunga, berharap menemukan anggrek tanah yang biasanya menyelip di keliaran perdu. Juga capung, kupukupu, dan serangga lain yang berteman dengan bunga. Puncak Wolobobo terhitung senyap, tanpa kicau burung yang biasanya meramaikan alam di awal pagi. Mengapa? Mungkin karena di sini tak banyak pohon buah yang menjadi makanan mereka.
Di puncak Wolobobo, pandangan kami segera terhalang menara BTS operator seluler. Kompleks bangunan ini seperti menghadang, menguasai bentang puncak bukit. Bagaimana kami bisa mencapai padang sabana mini dengan Inerie yang menunggu di dataran seberang kiri kami? Untungnya Ferdinand bisa berkomuikasi dengan Herry yang telah lebih dulu menghilang di depan. Ternyata, dari muka kompleks BTS, melipir ke kanan masih ada celah setapak sampai batas pagar, ke kiri lurus ke belakang, ke kiri lagi dan... voila! Kami tiba di bentang sabana mini. Cantik sekali dalam sisa semburat jingga keemasan matahari yang sedang merambat naik sepenggalah. Nyaris seperti bentang karpet merah menuju Inerie setinggi 2.245 m yang menunggu di ujung sabana. Ferdinand dan Herry segera memperingatkan kami untuk menghindari berjalan terlalu ke tepi kalau tak mau terjun ke lembah dalam. Ebulobo dan Inerie memiliki siluet segitiga nyaris sempurna.
Puncak mereka hampir runcing, menandakan sebagai gunung yang sedang bertumbuh, belum pernah meletus lagi membongkar kawah sejak letusan terakhir. Ebulobo tercatat pernah meletus pada 1830 dengan lelehan lava di lereng utara sepanjang 4 km yang disebut Watu Keli. Pada 28 Februari 1969, puncak Nagekeo ini pernah 'batuk' melontarkan uap panas dan abu. Inerie yang berpijak di bumi kawasan Desa Tiworiwu I, Kecamatan Jerebuu, tercatat meletus pada 1882 dan 1970. Membuang pandang ke selatan, Laut Sawu membiru. Di puncak Inerie inilah, konon warga setempat percaya, Dewa Zeta pelindung kampung bersemayam. Pesona Inerie membuat saya lupa akan kisah batu Jaramasi yang melekat di kaki Inerie, yang dipercaya merupakan jelmaan Masih si pemuda yang membuat Inerie jatuh hati, dan kudanya (jara). Segitiga-segitiga sempurna ini juga seperti memperkuat legenda cinta segitiga mereka. (M-1)