Tidak mengurungkan niat pasangan suami istri ini untuk merawat anak-anak yatim piatu dan duafa. Joko Mulyanto dan Tatik Musyarofah merupakan pasangan suami istri yang hidup dengan empat anak kandung dan satu anak angkat. Semua berawal dari kerusuhan Mei 1998. Pasangan itu menemukan Tia, anak perempuan yang kehilangan ayahnya saat kerusuhan. Joko dan Tatik melihat adanya perbedaan dari anak itu jika dibandingkan dengan anak lain. Bila anak lain bersekolah, tidak dengan Tia. Ia mengaku tidak memiliki biaya yang cukup untuk sekolah. Karena melihat hal itu, Joko dan Tatik langsung tergugah hati.
Mereka lantas menemui ibu Tia untuk meminta izin mengangkat Tia menjadi anak mereka. Padahal, saat itu perekonomian Joko dan Tatik tidak begitu bagus. Joko kala itu hanya berprofesi sebagai sopir pribadi. Namun, hal itu bukan alasan bagi mereka merawat Tia. Joko terkadang menggadaikan aset pribadinya untuk menutupi kebutuhan hidup dan membayar biaya pendidikan sekolah anak-anak. Pasangan itu yakin setiap anak memiliki rezeki masing-masing dan tidak akan sulit merawat anak-anak dalam jumlah banyak. Sejak 2002, pasangan itu mulai merawat anak-anak yatim dan duafa. Banyak orangtua yang mengantarkan anak mereka kepada Joko dan Tatik untuk dititipkan.
Namun, mereka tidak datang kembali menjemput anak-anaknya. Kebanyakan dari mereka yang menitipkan anaknya beralasan biaya hidup. Jangankan untuk sekolah, mereka bahkan tidak bisa membiayai makan sehari-hari anaknya. Jumlah anak yang dititipkan setiap hari semakin meningkat dan memenuhi rumah mungil mereka yang kurang lebih 100 meter persegi. Karena melihat itu, Joko dan Tatik berpikir mendirikan panti sosial. Mendirikan panti sosial bukan perkara mudah seperti membalik telapak tangan. Mereka mencicil semua bahan bangunan dalam jangka waktu yang lama.
Mulai membeli tanah, bahan bangunan untuk fondasi rumah, sampai membeli peralatan panti. Akhirnya, panti sosial Bani Hasyim berdiri di Jalan Warung Silah, Jagakarta, Jakarta selatan. Anak-anak yang menjadi anak asuh Joko dan Tatik itu rata-rata masih duduk di bangku sekolah dasar dan memiliki cita-cita yang sangat tinggi. Ada yang bercita-cita sebagai polisi, guru, dan dokter. "Untuk memilih merawat anak-anak ini, ya ini pilihan hidup" ungkap Joko. Keputusannya itu, kata Joko, merupakan pilihan hidup. Dari satu anak, kini menjadi puluhan anak yang dirawat dan dijaga. Kini, sebanyak 35 anak ditampung dan dibiayai Joko dan Tatik di bawah naungan Panti Sosial Bani Hasyim. Sementara itu, lebih dari 20 orang menjadi alumnus dan telah hidup mandiri.
Matematika Secara logika, pekerjaan Joko sebagai sopir dengan pendapatan yang tidak cukup banyak mampu mendirikan panti sosial tentu tidak masuk akal. Namun, Joko yakin selalu ada jalan keluar menghadapi masalah keuangan mereka. "saya yakin matematika Tuhan sama kita beda. Jika kita mengeluarkan satu, Tuhan berikan berlipat-lipat," ungkap Joko. Joko harus membiayai 35 anak asuh, 4 anak kandung, dan 1 anak angkat, serta membangun panti sosial. Ditambah ada 15-20 anak yang sudah menjadi alumnus. Namun, para alumnus sudah bisa mandiri.
Joko dan Tatik tidak pernah membedakan anak-anak asuh mereka dengan anak kandung. Semua diberi fasilitas dan kasih sayang yang seimbang. Pasangan ini sempat menjual mobil, utang di bank, bahkan sampai menggadaikan cincin perkawinan mereka dan sampai saat ini hilang karena tidak sempat di tebus. Namun, Tuhan selalu memberikan lebih. Saat ini, Joko sudah tidak bisa lagi bekerja karena sakit diabetes dan hepatitis sejak 5 bulan lalu. Untuk tetap mendapatkan penghasilan demi membiayai seluruh anak-anaknya, Joko menyewakan mobil seperti membuka rental mobil. Modal untuk membuka usaha rental ini Joko dapatkan dari keluarga dan tabungan Joko saat masih bekerja. Pendapatan dari membuka rental mobil ini dinilai Joko cukup lumayan untuk membiayai kehidupan sehari-hari Joko, Tatik, dan semua anak-anaknya. Pasangan ini berharap nantinya anak-anak yang dirawat mereka kelak menjadi anak yang dipandang masyarakat dan dihargai serta menjadi anak-anak yang mandiri.