Yang Muda Beralih ke Kota

MI/WIDJAJADI
25/10/2015 00:00
Yang Muda Beralih ke Kota
(MI/FERDINAN)
DI samping rumahnya, sejak setahun lalu, Udam Muhtadin mendirikan warung kelontong.  Namun, usaha sampingan itu bukan dimulai karena rezeki yang sedang berlimpah, melainkan kekhawatiran akan jalan hidup yang sudah dikenal sejak moyangnya.

Udam yang lahir di keluarga petani di Karawang Barat, Jawa Barat, terpaksa membuka warung sejak 2,75 hektare sawahnya diduduki secara ilegal oleh sebuah perusahaan. Sawah itu dikabarkan akan dijadikan pabrik.

Sejak itu, pria 65 tahun tersebut hanya mengandalkan panen dari sawah yang tinggal seluas 0,25 hektare. Hasilnya jauh dari cukup. Terlebih, sekitar 30% pendapatan bertani memang habis untuk bibit, pupuk, obat pembasmi hama, dan sewa traktor. Karena itu, ia dan istri pun meminjam modal untuk mendirikan warung.

Sawah Udam hanya satu dari banyak sawah di sana yang beralih fungsi. Di wilayah Karawang Selatan dan Karawang Timur, invasi pabrik dan bangunan lain lebih jamak terlihat. Kondisi-kondisi itulah yang membuat anak-anak Udam tidak mau turun ke sawah.

Alih fungsi lahan pertanian juga meluas di Sukoharjo, Jawa Tengah. Data Dinas Pertanian Sukoharjo menyebutkan lahan pertanian pada akhir 2013 seluas 20.814 hektare. Jumlah itu menyusut 473 hektare jika dibandingkan dengan 2010.

"Tapi perkiraan kami luas lahan itu pasti (sekarang) berkurang lagi. Sebagian besar disebabkan alih fungsi lahan menjadi permukiman," kata Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Sukoharjo, Jati P, Kamis (15/10).

Penurunan jumlah sawah diyakini mendorong menurunnya jumlah rumah tangga petani (RTP). Di wilayah itu, jumlah RTP gurem turun 47,89%, atau dari 104.831 RTP pada 2003 menjadi 54.630 RTP pada 2013.

Peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lain nyatanya juga terjadi di wilayah yang masih memiliki persawahan luas. Di Desa Pringanom, Kecamatan Masaran, Sragen, Jawa Tengah, jumlah warga yang bekerja di sektor nonpertanian naik dari 15% menjadi 25%. Padahal, seperti terlihat pada minggu lalu, hamparan sawah masih mendominasi wilayah itu.

Meski panen juga berlangsung baik, pendapatan petani tersedot untuk pengairan. "Panen memang lumayan baik, tapi petani harus mengeluarkan biaya tinggi untuk sumur pantek," jelas Kepala Urusan Umum Desa Pringanom, Sardi.

Kondisi itu sangat memberatkan bagi petani Desa Pringanom yang kebanyakan hanya memiliki sepetak sawah (1.400 meter persegi). Terlebih bagi petani penyewa lahan, hampir tidak ada untung tersisa.

Karena kondisi tersebut, yang menjadi korban sesungguhnya bukan hanya petani, melainkan juga kekuatan bangsa. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyimpulkan itu dari korelasi penurunan RTP dengan kenaikan impor pangan yang terdata oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

RTP turun 16,32% selama kurun 2003 ke 2013, yakni dari 31,23 juta RTP menjadi 26,14 juta RTP. Sementara itu, impor pangan melonjak dari US$3,34 miliar pada 2003 menjadi US$14,49 miliar pada 2013.

Henry mendesak pemerintah segera memperbaiki faktor-faktor produksi. "Jika pemerintah memperbaiki irigasi dan pembangunan desa tani, pertumbuhan ekonomi nasional akan meningkat," tuturnya.

Sulit ke sektor formal

Kian tidak menariknya profesi petani juga terlihat dalam penelitian yang dilakukan YB Widodo dan Gutomo Bayu Aji dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dalam penelitian yang dilakukan di Desa Kepuh (Sukoharjo), Desa Sidodadi (Sragen), dan Desa Sidowayah (Klaten), petani termasuk dalam profesi dengan pendapatan paling kecil.

Di Desa Sidowayah pendapatan kepala rumah tangga dengan profesi utama petani atau buruh tani maksimal hanya mencapai Rp1,9 juta. Di Desa Kepuh pendapatan maksimalnya mencapai Rp2,9 juta. Bandingkan dengan pendapatan karyawan swasta di desa itu yang bisa mencapai Rp3,9 juta.

Dari penelitian juga terlihat bahwa di ketiga desa tersebut profesi petani atau buruh tani tidak ada yang mencapai kelompok pendapatan tertinggi, yakni di atas Rp5 juta. Kelompok itu ditempati profesi PNS, guru atau aparat desa, atau pula pedagang.

Akibat minimnya pendapatan itu, generasi muda dari keluarga petani atau buruh tani kemudian bermigrasi ke kota. Berdasarkan survei yang dilakukan peneliti, 100% responden asal Desa Kepuh yang bermigrasi ke kota memiliki tujuan mencari pendapatan yang lebih baik.

Salah satu kesimpulan penelitian itu ialah persepsi pemuda terhadap profesi petani sesuai dengan realitas kehidupan petani kecil. Pada kenyataannya, petani kelompok itu memang tidak cukup mewariskan lahan sawah untuk kehidupan generasi penerusnya.

Di sisi lain, alih profesi yang dipilih generasi muda juga belum tentu berakhir indah. Kurang dari setengah dari generasi muda desa itu kemudian bekerja di sektor formal, seperti di pabrik, hotel, stasiun pengisian bahan bakar, atau menjadi tenaga pendidik.

Gutomo Bayu Aji mengungkapkan bahwa minimnya penyerapan generasi muda keluarga petani ke sektor formal juga bisa terjadi di wilayah lain, bahkan di wilayah yang banyak berdiri industri seperti di Karawang.

"Masalahnya kan orang lokal yang lahan pertaniannya beralih fungsi dan sulit bekerja di tempat (industri) tersebut. Sebagian besar (industri) pasti merekrut orang luar yang memiliki tingkat akademis lebih tinggi," jelas Gutomo.

Alih fungsi lahan yang tidak dibarengi penyerapan tenaga kerja ke industri ini pula yang menurut Gutomo mendorong banyak masyarakat miskin di Indonesia yang berasal dari kelompok petani. (WJ/FR/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya