Eksistensi Diri dan Oligarki Kekuasaan

(Zuq/M-6)
11/10/2015 00:00
Eksistensi Diri dan Oligarki Kekuasaan
(MI/Abdilah M)
LAZIMNYA pentas teater panggung dibiarkan gelap dengan layar tertutup.  Namun, kali ini, panggung dibiarkan begitu saja dengan cahaya lampu dan tirai terbuka.  Tidak didapati suasana gelap dan kesan rahasia. Di atas panggung telah diletakkan beberapa properti, 3 perancah, 1 tong plastik besar, dan 2 bantal kubus.  Dung! Bunyi gong menandai masuknya seorang pria ke panggung. Rahwana naik ke atas perancah lalu mengambil posisi menghadap belakang panggung.  Di barisan penonton, tak terdengar lagi suara berisik. Pertunjukan telah dimulai. Begitu pikir penonton. Apalagi gong berbunyi kedua kali dan si pria mulai bergerak teatrikal sembari melafalkan beberapa bait.

"Oh, Sinta. Meski seribu dewa mengutuk cintaku padamu, meski tujuh langit jatuh dari tiangnya, aku tetap akan teriakkan aku cinta padamu," teriak Rahwana.  Selang beberapa saat, ia melompat turun dari perancah.  Namun, tiba-tiba.... "Bukan adegan seperti ini yang ingin kami mainkan," kata dia sembari mendekat ke arah penonton. "Ha... ha... ha..." tawa riuh langsung meledak dari bangku penonton. Sontak, mereka dibuat terpingkal oleh pembukaan pentas yang tak biasa itu. Sebab, saat si pria masuk panggung, penonton berpikir bahwa pertunjukan telah bermula. Ternyata mereka terkecoh.

Pentas monolog musikal Gumam Gugat Gigit itu digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (7/10). Pentas tersebut membawakan kisah seorang laki-laki bernama Rahwana. Jauh berbeda dengan kisah Rahwana dalam cerita Ramayana. Wana (demikian Rahwana kerap disapa) ialah anak dari keluarga konglomerat. Ia dipersiapkan orangtuanya untuk masuk lingkaran oligarki. Ia diharuskan bercita-cita menguasai negeri dengan cara yang dipahami mereka. Singkat cerita, Wana tumbuh besar sesuai dengan keinginan orangtuanya. Ia dilakonkan sebagai anak yang tidak begitu memahami hal yang bisa dilakukan dirinya.

Padahal, Wana punya modal awal yang cukup untuk menjadi dirinya sendiri seperti yang diinginkan. Modal tersebut ialah keluarga yang berada, terpandang, dan berpengaruh. Akan tetapi, Wana tidak pernah menjadi seperti yang diinginkannya. Sebaliknya, ia tumbuh seperti yang orang lain inginkan. Ia gelisah lantaran tak berani menjadi manusia bebas. Meski terlihat baik-baik saja, jauh di dalam hatinya Wana merasa terasing dari kehidupannya. Hidup yang tak teruji tak layak dijalani, begitu kata Socrates.

Eksistensi diri
Dari naskah yang dimainkan tercium pekat paham eksistensialisme. Pertentangan dan pergolakan diri manusia dalam merespons tekanan dari luar. "Konsepnya adalah eksistensi kita sendiri. Ini kurang diperhatikan, bahkan cenderung diabaikan," terang penulis naskah Donny Anggoro, seusai pementasan. Tema ini sempat menjadi isu sentral pasca-Perang Dunia II dengan tokoh utama dua filsuf Prancis, Jean Paul Sartre yang terkenal dengan 'orang lain adalah neraka' dan Albert Camus 'aku memberontak maka aku ada'. Meski mengangkat tema berat, pentas dengan durasi 90 menit tidak membuat kening berkerut. Sebaliknya, guyonan dan humor lebih sering muncul. Sutradara sukses membawa pertunjukan menjadi segar dan menghibur, tanpa kehilangan fokus pada tema yang dibawa.

Buktinya, tawa serentak sering kali menerobos dengar dari bangku penonton. Selama pertunjukan, latar panggung sama sekali tidak berubah. Tidak ada pergantian set panggung. Hanya beberapa properti yang dipindah posisi sesuai adegan. Terlebih lagi, pencahayaan dan musikalitas yang ditata begitu apik. Sang aktor Rusmidie Agus sukses membawakan karakter Rahwana. Pentas tersebut layak diapresiasi. Monolog musikal Gumam Gugat Gigit ialah karya Gong Tiga Production. Pentas itu dimotori sutradara/produser Krisna Aditya, penari Meita Nindya Sari, penulis naskah Gema Sadatana/Donny Anggoro, penata musik Loedet, penata lampu Deray Setiadi, dan penata artistik Dany OD.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya