Inspirasi Energi dari Palang Pintu

Muhammad Kurniawan
16/10/2016 05:51
Inspirasi Energi dari Palang Pintu
(DOK PRIBADI)

Energi bisa dihasilkan dari berbagai peranti dan aktivitas, termasuk saat penumpang bus atau kereta mendorong palang pintu besi.

Palang pintu besi yang lazim digunakan di halte-halte Trans-Jakarta, terminal, atau stasiun kereta api, yang berputar setiap kali ada yang masuk atau keluar bisa jadi sumber energi lo! Riset atas energi alternatif ini bisa membuat Nabila dan Stephanie jadi juara dua dan juara favorit pada kompetisi Go Green City Schneider Electric di Paris, Prancis, September lalu.

Di tangan Nabila Astari dan Stephanie Rawi, mereka mahasiswi Teknik Mesin Universitas Indonesia (UI) angkatan 2013, Doorlock turnstile gate, nama peranti itu, bisa menghasilkan energi dari gaya dorong saat palang tersebut berputar. Istilah peranti itu kemudian mereka jadikan juga sebagai nama temuan mereka. Muda menjumpai Nabila di kampusnya karena Stephanie telah berada di Jepang untuk menjalani pertukaran pelajar selama satu semester.

Ceritakan dong bagaimana awalnya bisa menemukan ide listrik dari palang pintu ini?

Awalnya, aku mau ikut lomba, terus mencari konsep yang green energy. Mencari sesuatu yang ada terus-menerus, tetapi orang enggak sadar dan membuat energi atau gerakan itu terbuang.

Saat itu aku mengamati palang pintu besi tersebut. Gaya dorongnya ada dan memang ada listrik yang membantu mesinnya di dalam. Jadi, ada gaya dorong dari manusianya juga.

Nah, dari situ terpikirkan bahwa kalau ini dikonversikan bisa jadi listrik kali ya? Konsep modelnya mirip seperti dinamo yang ada di sepeda karena sama-sama berputar.

Prinsip kerjanya?

Sangat sederhana, cuma impact-nya sangat besar. Karena ini menghasilkan listrik, setidaknya gate ada di halte Trans-Jakarta ataupun di stasiun-stasiun kereta, jadi tidak memerlukan energi listrik tambahan seperti biasanya.

Bahkan, listrik yang dihasilkan dari alat ini bisa melebihi kapasitas kebutuhan tersebut jadi bisa menjadi subsidi bagi benda-benda di sekelilingnya. Mungkin ini terlihat sederhana, mudah dibuat, tapi belum ada orang yang kepikiran.

Namun, ternyata bikin sistemnya enggak semudah itu. Rumitnya karena kita enggak mau ngebuang dan merusak gerbang yang sudah ada. Jadi, harus menyesuaikan ruang yang ada di situ. Enggak bisa semena-mena memaksakan keinginan. Ide ini sebenarnya sudah di revisi berkali-kali.

Berapa listrik yang bisa dihasilkan?

Misalkan, dari setiap orang yang lewat asumsinya ada 0,03 kilowatt yang dihasilkan. Rata-rata orang yang masuk ke halte itu 30 orang per jam, terus kita kalikan 17 jam waktu operasinya Trans-Jakarta. Jadi, dayanya itu bisa mencapai kira-kira 15,3 kilowatt per harinya, sedangkan konsumsi alat tersebut hanya 2,5 kilowatt sehari. Jadi, ada kelebihan energi yang lumayan banyak. Untuk ke depannya mungkin alat ini bisa memiliki kemampuan lain, tetapi kita belum bisa prediksi.

Ini ide kalian sendiri atau ada yang membantu?

Jadi, ini ide saya untuk lomba. Namun, untuk memenuhi kriteria lomba, saya mengajak Stephanie. Ide saya ini juga mendapatkan input dari orang lain, kayak ada yang bilang mungkin akan lebih efisien kalau ada hitungannya. Jadi, saya juga banyak sekali mendapatkan dukungan dari teman dan dosen yang memberikan masukan yang pasti sangat membantu. Namun, untuk master ide, assembly, dan desainnya dari saya.

Ceritanya bisa sampai ke Paris?

Sebenarnya alat ini memang dibuat untuk ikut lomba Go Green City Schneider Electric. Awalnya cuma iseng mau ikut, lumayanlah bisa menambah sertifikat. Namun, ternyata akhirnya jadi serius karena tidak mau malu-maluin universitas. Jadi, kalau ingin mendaftarkan sesuatu, ya harus yang bagus.

Ternyata, yang dipikir ini cukup untuk membawa nama Universitas Indonesia menjadi lebih baik. Jadinya, bisa menciptakan sesuatu yang bisa membanggakan Indonesia. Alat ini sudah lewat tahap seleksi nasional, seleksi regional Asia Timur, dan akhirnya tingkat dunia.

Bagaimana ceritanya bisa ikut kompetisi ini?

Awalnya itu saya harus meng-upload ide dalam bentuk info grafis atau esai, lalu dipilihlah yang info grafis. Selanjutnya, persyaratan lain, yaitu anggota tim harus dua orang dan salah satunya harus wanita. Jadi, saya pilihlah Stephanie sebagai teman saya mengikuti lomba tersebut. Karena kalau saya pikir-pikir, peluangnya mungkin akan lebih besar jika dua-duanya perempuan.

Terus sebulan kemudian kami ditelepon dan dinyatakan lolos dalam tahap nasional, saya langsung berpikir kalau harus memberikan sesuatu yang real. Barulah dilakukan kalkulasi dan selanjutnya dibuat model simpel sebagai contoh kerja alatnya.

Kemudian, Alhamdulillah kita menang dan lanjut ke tahap Asia Timur, dibuatlah hitung-hitungan dengan kualitas alatnya. Namun, belum ada bentuk alatnya. Di situlah mulai serius untuk ngerjain. Setelah itu kami meminta support ke pemerintah DKI Jakarta. Lalu, ketemu sama pihak Trans-Jakarta dan mereka fully supporting. Berbekal dengan alat yang sudah dikembangin ini, kami maju ke tahap final dalam kompetisi di Paris kemarin. Alhamdulillah menjadi juara dua dan juga juara favorit. Jadi, kami pulang bawa dua trofi.

Siapa sih yang menginspirasi penemuan ini?

Kalau yang menginspirasi itu yang pasti keluarga sendiri. Namun, kalau yang lebih menginspirasi itu kakak saya karena dia juga pernah mengikuti lomba yang sama. Dia bilang lomba ini awalnya itu submit-nya sederhana, buat info grafis.

Jadi, awalnya ini benar-benar ide mentah. Jadi dia sebenarnya yang mendorong saya untuk ikut. Ayah saya juga sering kasih masukan karena dia juga lulusan dari teknik. Bisa di bilang saya ngerjain ini ya sama keluarga juga. Karena mereka yang ngasih dorongan, kasih motivasi untuk ngembangin temuan ini.

Padahal, untuk membuat alat ini juga sering gagal, prototype-nya enggak tercetak. Setidaknya merekalah yang selalu memberi semangat.

Berapa biaya yang dikeluarkan untuk buat alat ini?

Untuk buat prototype ini kira-kira ngeluarin dana sekitar 170 euro atau sekitar Rp2 juta-3 juta. Untuk saat ini pakai uang pribadi dulu tapi kami boleh me-reimburse, kepada pihak penyelenggara, yaitu Schneider Electric.

Ada tawaran dari pihak lain untuk mengadopsi penemuan kalian?

Waktu itu setelah kita menang perlombaan ada tawaran dari Trans-Jakarta untuk bekerja sama mengembangkan dan mengaplikasikan alat ini. Lalu, ada beberapa orang yang menyatakan tertarik sama alat ini tapi kita kan baru pulang, jadi belum bisa duduk bersama untuk membahas pengadopsian alat ini. Jadi, kita belum bisa kasih tahu siapa saja yang mau mengadopsi alat ini. Namun, Trans-Jakarta sudah oke banget, mereka benar-benar mau mengembangkan alat ini.

Untuk hak patennya kapan bisa didaftarkan?

Ini sebenarnya mau dirampungkan dulu idenya. Hopefully tahun ini semuanya selesai dan patennya pengin di bawah nama Universitas Indonesia karena ide ini muncul pada saat menjadi mahasiswa. Mungkin jika ada perusahaan yang tertarik hak patennya, bisa kita bagi.

Apa yang diharapkan dari pemerintah untuk penemuan ini?

Harapannya bisa di-support agar bisa diimplementasikan. Sejauh ini mereka sudah sangat mendukung. Mudah-mudahan alat ini bisa di pakai di seluruh daerah dan bisa jadi inspirasi buat teman-teman untuk tidak takut bermimpi, tidak takut berkarya, dan tidak kabur ke negara lain, serta membangun bangsa sendiri. (M-1)

Muhammad Kurniawan, Jurusan Jurnalistik Universitas Sumatera Utara



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya