Kisah yang tidak Berhenti di Panggung

Abdillah M Marzuqi/M-2
16/10/2016 01:45
Kisah yang tidak Berhenti di Panggung
(MI/ABDILLAH M MARZUQI)

INI bukan sekadar drama. Ini bukan sekadar pementasan yang ditonton orang dengan lampu menyala di atas panggung. Lalu segera berakhir saat lampu mati dan tepuk tangan bergemuruh. Akhirnya berlalu bebarengan dengan buyarnya penonton. Sebaliknya, ada jiwa dan rasa yang terus mengedup dalam hati. Ketika mengingat boneka dan berbagai barang lawas itu.

Malam itu, ruang dalam galeri dipenuhi barang-barang antik. Cukup mudah untuk mendapati koper tua, mesin ketik tua, miniatur kursi, telepon tua, dan jam beker berbentuk bulat. Barang-barang itu ditata apik dalam beberapa kumpulan. Setiap kumpulan barang ternyata mewakili spot khusus yang digunakan sebagai latar dalam cerita.

Ruang tanpa peninggi itu digunakan sebagai panggung dalam pementasan Secangkir Kopi dari Playa di Edwin's Gallery Jakarta pada 3 Oktober 2016. Teater boneka dan pameran diadakan pada 4-9 Oktober 2016.

Pementasan judul itu ialah kali kelima sejak dipentaskan pertama kali di sebuah toko barang antik di salah satu sudut Kota Yogyakarta pada 2011.

Sebelumnya, Papermoon Puppet Theatre pernah mementaskan teater boneka di Bali dan Jakarta. Dalam perjalanan mereka, karya itu juga menjadi bagian dari film Ada Apa dengan Cinta #2.
Pementasan kali ini mempunyai misi sebagai Fundraising Pesta Boneka #5 yang menurut rencana bakal digelar pada 2-4 Desember 2016. Pesta Boneka ialah sebuah rangkaian Festival Teater Boneka Internasional dua tahunan yang digelar dan diinisiasi secara mandiri oleh Papermoon Puppet Theatre sejak 2008. Tahun ini, Pesta Boneka akan digelar yang kelima kalinya, selama tiga hari di Yogyakarta. Tema Home dipilih sebagai tema besar Pesta Boneka #5.

Kisah nyata

Secangkir Kopi dari Playa terinspirasi oleh sebuah kisah nyata sepasang kekasih pada masa lampau. Secangkir Kopi dari Playa didedikasikan pada Pak Wi yang masih setia kepada cintanya dan sang kekasih masa lampau di salah satu sudut Ibu Kota.

Cerita itu berlatar pada 1960-an. Kala itu, seorang pemuda bernama Wi dikirim pemerintah Orde Lama untuk mengenyam pendidikan di Uni Soviet pada 1960. Bersama belasan pemuda-pemudi lain, Wi berangkat dengan rasa bangga yang membuncah di dada. Keberangkatannya dilepas dengan kebanggaan meskipun dibungkus cucuran air mata oleh gadis pujaan hatinya. Ia adalah gadis yang telah menyimpan janji Wi untuk akan menikahinya sepulang tugas belajar ke Rusia.

Awalnya semua baik-baik saja, surat-menyurat di antara sepasang kekasih itu terus berlangsung bertahun lamanya. hingga akhirnya terjadi sebuah tragedi besar di Tanah Air. Sebuah kekacauan besar yang mengakibatkan banyak kehilangan. Tragedi yang pecah hanya setahun sebelum Wi menyelesaikan tugas belajarnya. Wi tidak bisa balik ke Indonesia dan bersua dengan kekasih hatinya. Namun, sampai lewat 50 tahun pascatragedi itu pun, Wi memilih untuk tidak menikah dan bekerja sebagai salah satu ahli metalurgi di Playa, Havana, Kuba.

"Sebuah kisah nyata yang mungkin bisa membuka mata kita untuk menghargai apa pun yang kita miliki dan memahami betapa indahnya rasa pernah begitu dicintai. Kisah ini kami dedikasikan penuh kepada Bapak Widodo Soewardjo dan sang kekasih masa lampau," terang Direktur Artistik Maria Tri Sulistyani.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya