Indonesia di Mata Paisi

Abdillah M Marzuqi
25/9/2016 05:00
Indonesia di Mata Paisi
(MI/ABDILLAH M MARZUQI)

PAK Ogah tetap tersenyum. Apa pun yang terjadi, ia akan tersenyum. Ia tetap bersapa akrab dengan kelindan asap knalpot dan raungan mesin. Bibirnya melebar menyungging senyum di balik banyaknya kendaraan. Ia berdiri di depan para pengendara yang beringas. Ia merentang tangan menantang gerobak, motor, dan bajaj yang seolah tak punya kemauan untuk berhenti barang sejenak.

Di tengah kuda besi bermesin yang seolah tak berem, Pak Ogah masih berani berdiri tegak menantang. Jakarta dan macet, dua hal yang tak terpisahkan. Jakarta dan penghuninya, juga dua hal yang layak diperhatikan.

Setidaknya itulah gambaran yang dapat dibaca dari karya Pascal Hierholz berjudul Mr Ogah, The Traffic Helper. Lukisan itu menjadi salah satu karya yang dipamerkan di The Media Hotel Jakarta. Pameran karya bertajuk Kesan-Kesan itu berlangsung pada 17-25 September 2016.

Pascal Hierholz, atau lebih akrab disapa Paisi, ialah seorang warga Prancis. Ia seorang penjelajah, seniman, dan poliglot yang memiliki ketertarikan pada budaya-budaya di seluruh penjuru dunia. Ia menguasai berbagai bahasa. Setelah enam tahun tinggal Indonesia, Paisi kemudian jatuh cinta pada negeri ini.

Paisi ialah seorang direktur kreatif di bidang iklan, desain, dan komunikasi digital. Panggilan nama Paisi (Pai Si)--yang berarti ombak-ombak ide--menempel pada dirinya semenjak ia bekerja di Tiongkok.


Kesan tentang Indonesia

Dalam pameran itu, Paisi menampilkan beberapa babak kesan tentang Indonesia. Dengan bahasa artistiknya, ia mengungkap sisi lain dari Indonesia yang indah, sekaligus memberikan pesan-pesan khusus yang memikat. Ia mendasarkan itu pada mata, bukan Indonesia untuk memuat kronik keseharian yang berbeda dari Indonesia.

Pertama ialah tentang eksotisme dan keseharian warga Bali. Mitologi sampai aneka tingkah laku para penghuninya hadir pada karyanya. Pada judul karya Angry, Seductive dan Karangasem, Paisi mengeksplorasi patung para dewa di Bali yang seperti ditangkap dalam kanvas. Berbeda kala melihat Bali Trash atau Basa-basi Bali yang kental akan nilai parodinya. Ketika sampah menjadi kenyataan hidup sekaligus problematika sehari-hari di tempat wisata, Paisi mempelesetkannya menjadi gambaran perempuan bertato dan patung.

"Bali di tangan Paisi menjadi menggemaskan sekaligus mengundang nuansa satire," terang kurator pameran Bambang Asrini Widjanarko.

Karya-karya Paisi yang lain, tentang snapshot lanskap, orang bercengkerama, dan panorama persawahan Bali dan daerah lain diberi juluk Indonesian Impressions. Sketsa-sketsa ini bermedia cat air dan tinta tiongkok.

Ketika menangkap kesan Jakarta, Paisi mencoba mengendapkan kesan-kesan universal. Ia mampu menangkap semangat dan tidak hanya berkutat pada fisik. Bagaimana pun, makna menjadi Indonesia secara utuh diperoleh dari nilai-nilai budaya dan pergaulan sosial.

Jakarta yang pengap dan macet dicerna Paisi dalam Pak Ogah. Paisi memberi kesan betapa bising sang penjaga lalu lintas tak resmi di persimpangan jalan di ibu kota. Hal ini melambangkan manusia-manusia yang sulit menaati peraturan.

Memang penuh semrawut, tapi di balik itu, ada sosok berjiwa besar yang rela berdiri berpanas agar situasi mampet itu tidak berlarut-larut. Pak Ogah dalam pandangan Paisi mencerminkan orang dengan jiwa besar dan rendah hati.

"Di tengah kerumitan lampu merah, ada senyum Pak Ogah," tutur Pasisi.

Kesan dan pesan senada juga muncul dalam karya I Love Jakarta. Ketika seorang pria berdiri di samping bajaj dengan latar semak dan gedung pencakar langit, ada seselip merah putih yang merupakan warna bendera Indonesia. Bajaj itu dipenuhi coretan curhat tentang Jakarta, tentang Indonesia. Cukup mudah mengesan pria tersebut berprofesi sebagai tukang bajaj.

Pria itu dengan pose intim memegang sebatang rokok yang tersulut dan dimasukkan ke mulut. Lukisan itu seolah bercerita tentang pencari sesuap nasi di Ibu Kota yang tetap tenang dan santai meski besok tidak punya gambaran mau makan apa. Sebuah tangkapan yang cukup cerdas untuk menggambarkan penghuni Jakarta.


Cerita tentang Soekarno

Paisi juga bercerita soal Soekarno dan rupiah, sekaligus Indonesia yang akrab dengan Jakarta hari ini. Dalam karya berjudul Satu Rupiah, Paisi mengambarkan Soekarno dengan latar gunung berapi yang masih mengepulkan asap. Dalam Unity in Diversity, Soekarno digambarkan sedang mengibarkan uang rupiah.

"Dua karya ini patut diapresiasi tinggi dalam pameran ini daripada karyanya yang lain karena mampu melihat yang tak terlihat. Perspektif yang berbeda tentang Indonesia, Jakarta dan rupiah yang berisiko menjadi senjata pemusnah," terang Bambang.

Paisi telah menghasilkan begitu banyak jurnal perjalanan dalam bentuk ilustrasi. Ia mencatat apa pun yang dia rasakan di atas kertas. Awalnya ia hanya menggunakan tinta hitam, tapi kini ia telah mengombinasikannya dengan cat air. Ia mengekspresikannya dalam bentuk ilustrasi. Beberapa hadir di setiap yang ia adakan. Banyak dari karya dari perjalanannya ini telah membentuk materi untuk pameran-pamerannya.

Selain itu, Paisi juga sangat senang menjajal berbagai medium seperti bahan karung goni yang biasa digunakan untuk membungkus berbagai macam kebutuhan atau kardus kasar dan tentunya kanvas serta kertas. Semua medium itu menyatu bersama kuatnya torehan hitam tinta tiongkok. Baginya, seniman harus selalu bereksplorasi dengan ide dan mediumnya.

Paisi telah berhasil menangkap kesan tentang Indonesia. Tidak hanya keindahan alam ataupun kesemrawutan, tetapi juga keindahan nilai budaya Indonesia. Lebih jauh, Paisi menangkap lengkap dan mampu menerjemahkannya ke dalam bahasa artistik. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya