Kesetaraan demi Kebangkitan Polwan

MI/YOSE HENDRA
30/8/2015 00:00
Kesetaraan demi Kebangkitan Polwan
(ANTARA/MAULANA SURYA)
TERIK matahari di Bukittinggi, Sumatra Barat, tertutupi oleh kesejukan udara Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Suasana Sabtu (22/8) siang itu tidak menghalangi tiga pekerja yang sibuk memugar Monumen Polisi Wanita (Polwan) di kawasan bekas Stasiun Kereta Api Bukittinggi. Pasalnya, pada 1 September mendatang, monumen itu akan kembali diresmikan.

Monumen setinggi 6 meter itu tampak menonjol di simpang tiga di ruas Jalan Protokol Sudirman-Jalan H Agus Salim. Di sisi monumen, ada relief pendiri dan perjuangan para polwan. Sementara itu, bagian dalamnya berdiri patung polwan setinggi 2,8 meter yang terbuat dari tembaga.

Tugu itu sebenarnya sudah ada sejak 27 April 1993, tapi terabaikan hingga menjadi kusam dan tidak memiliki daya tarik. Pada Februari lalu, tugu itu mulai dipugar dengan dana Rp2,5miliar yang berasal dari urunan seluruh polwan di Indonesia. "Pemugaran dilakukan awal Februari 2015. Kemarin di cek ternyata belum selesai. Ada yang kurang, terutama pengecatan, sehingga kami tambah lagi Rp40 juta," jelas Wakil Kepala Polisi Daerah (Wakapolda) Sumatra Barat Kombes Nur Afiah.

Monumen itu bukan sekadar bangunan monumental pewarna kota, melainkan memorabilia tentang kelahiran polwan di Bukittinggi. "Monumen dipugar, bisa menjadi tempat wisata, dan rencana juga akan dibuatkan prangko Monumen Polwan," ujar Nur Afiah.

Berawal di Bukittinggi
Polwan dan Bukittinggi memiliki ikatan kuat. Bagaimana tidak? Kota kelahiran Bung Hatta itu merupakan titik kelahiran Polwan Indonesia, tepatnya pada 1 September 1948.

Ketika itu, selepas kemerdekaan, tingkat kejahatan dan kekerasan meningkat. Tidak saja oleh kaum Adam, tapi juga Hawa. Polisi yang didominasi laki-laki sempat kewalahan karena banyak kasus yang melibatkan perempuan yang tidak ingin ditangani para polisi pria. Untuk urusan pemeriksaan badan, polisi meminta tolong pegawai negeri perempuan.

"Polisi pria, kalau situasi sulit masih bisa diterjunkan untuk memeriksa tersangka atau saksi wanita, tapi kalau sudah pemeriksaan badan, polisi kesulitan. Maka polisi akan minta tolong pegawai negeri wanita menjalankan tugas tersebut," ujar Hasril Chaniago. Hasril bersama dua temannya, Khairul Jasmi dan Muhamad Akmil, menulis buku Polisi Pejuang dan Polisi Masyarakat: Sejarah Kepolisian RI di Sumatera Barat/Tengah.

Kesulitan itu juga dialami kepolisian di daerah lain. Pada 1948, direncanakan pendirian pendidikan polwan dan seluruh residen diminta mengirimkan dua calon untuk dididik, tapi direspons dingin. Akhirnya, organisasi wanita dan organisasi Islam wanita di Bukittinggi berinisiatif.

Dari 9 calon yang mendaftar guna mengikuti dua pendidikan kepolisian (pendidikan pembantu inspektur polisi dan kursus inspektur polisi). Setelah dites hanya enam lulusan sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang lulus.

"Mereka diterima untuk dididik di Kursus Inspektur Polisi di Sekolah Kepolisian. Mereka digabungkan dengan polisi pria, jumlah keseluruhan siswa 28 orang," jelasnya. Keenam orang tersebut ialah Nelly Pauna (Kolonel Polisi Nelly Pauna Situmorang), Mariana Saanin (Kolonel Polisi Mariana Mufti), Djasmainar (Kolonel Polisi Djasmainar Husen), Rosmalina (Kolonel Polisi Rosmalina Pramono), Rosnalia (Kolonel Polisi Rosnalia Taher), dan Dahniar (Letnan Kolonel Dahniar Sukotjo). Saat memasuki sekolah kepolisian, mereka dipandang remeh dan sinis. Namun, mereka bisa membuktikan diri saat Agresi Militer Belanda II pada 18 Desember 1948.

Mereka diinstruksikan ke Matur, Agam. "Aku bersama Djasmainar berangkat ke Pasaman. Sementara itu, Nelly Pauna menuju Koto Tinggi di Suliki," tutur Rosmalina seperti ditulis Hasril. Dari Matur, pergerakan mereka berlanjut ke wilayah Pasaman. "Di Talu, Pasaman, Djasmainar diperbantukan pada Korps Polisi Militer (CPM) dan Rosmalina sebagai intel di PAM," jelas Hasril.

Pasang surut
Kesuksesan keenam polwan itu tidak serta-merta mendapatkan respons positif. Butuh waktu lama untuk membuktikan diri. "Hingga 1958, tidak ada penambahan polwan di Indonesia. Tetap enam orang," jelas Hasril.

Bahkan, polwan sempat dihapuskan, tapi protes keras dilayangkan mereka. Dukungan untuk kembali mengaktifkan polwan juga dilancarkan Bhayangkari, organisasi istri polisi melalui Kongres Wanita Indonesia (Kowani) III. Hingga 1961, akhirnya dilakukan penerimaan perempuan untuk mengikuti pendidikan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan IX dan Akademi Angkatan Kepolisian (AAK) serta Pendidikan Bintara di Sekolah Angkatan Kepolisian (SAK) Sukabumi kembali dibuka.

Tuga Polwan memeriksa perkara-perkara kejahatan yang dilakukan perempuan dan anak-anak. Kala itu Rosmalina berhasil memisahkan Biro Anak-anak dasri Seksi Reserse Kriminal ke Seksi Pembinaan Masyarakat serta mengeluarkan petunjuk penanganan anak-anak.

Pusat Polisi Wanita bertahan hingga 1977 sebelum diganti menjadi Biro Polisi Wanita. Namun, pada 1984, Biro Polisi Wanita dihapus ketika polisi melakukan reorganisasi. Kemudian, muncul bagian polisi wanita yang bernaung di bawah Direktorat Personel Polri. "Karena isu kesetaraan, Kabag Polwan dihapus pada 2002 dan anggota polwan melebur serta bergabung ke direktorat-direktorat masing-masing," ujar Nur Afiah.

Meski begitu, Nur Afiah mengaku masih merasakan perbedaan dalam ranah penempatan dan peluang pendidikan. "Kesetaraan masing kurang, hal ini sangat terasa di lini-lini operasional kepolisian (Opsmal). Kebanyakan Polwan ditempatkan di pembinaan," ungkap lulusan Akademi Polisi (Akpol) 1984 itu.

Minoritas
Saat ini, jumlah polwan hanya 4% dari total 400 ribu anggota Polri. Nur Afiah menilai angka itu belum memuaskan. "Karier polwan juga masih rendah. Dari 450-an polres di Indonesia, hanya 5 orang yang Kapolresnya Polwan," Nur Afiah menambahkan.

Polwan yang menjadi kapolres tersebar di Sumatra Barat 2 orang, Aceh 1 orang, Lampung 1 orang, dan Jawa Tengah 1 orang.

Dari 200 lebih polisi yang berpangkat jenderal, hanya ada tiga orang polwan. Ketiganya ialah Brigjen Basaria Panjaitan yang menjabat Widyaiswara Madya Sespimti Polri Lemdikpol, Brigjen Supartiwi yang menjabat Direktur Eksekutif JCLEC (Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation) di Semarang, dan Brigjen Ida Utari, Direktur Penguatan Lembaga Rehabilitasi Instansi Pemerintah, Badan Narkotika Nasional (BNN).

"Saya pikir pimpinan di kepolisian belum beri kesempatan ke Polwan," jelas satu-satunya Wakapolda wanita di Indonesia itu.

Padahal, mereka cakap bersosialisasi dengan masyarakat, administrasi, yang rapi, dan laporan yang rajin. Saat ini Polwan lebih banyak ditempatkan di pembinaan, seperti SDM, Bimas, dan IT. ''Sebetulnya, polwan bisa memainkan peran sebagai negosiator di unit Sabara,'' jelas Nur Afiah.(M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya