INDONESIA telah kehilangan 20% hutan alam antara 1990 dan 2010. Hingga hari ini, proses deforestasi terus berlangsung. Selain berkontribusi terhadap perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati, lebih dari 25 ribu desa yang terletak di dalam dan sekitar hutan tak luput dari ancaman.
Siapa yang salah? Siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan-pertanyaan itu sering sekali dikemukakan, tetapi jelaslah bukan jenis tanya yang kita butuhkan karena sama sekali tidak berbasis penyelesaian masalah.
Pada akhirnya semua pihak hanya sibuk saling menyalahkan, merasa pihak satunya yang paling bertanggung jawab. Ketika pemerintah duduk bersama lembaga swadaya masyarakat, pihak swasta, dan elemen masyarakat, masing-masing membawa kacamata sendiri yang sudah kadung diliputi prasangka dan kemarahan. Padahal, prasangka seperti kabut yang menyelimuti jarak pandang sebenarnya.
Persoalan itulah yang kemudian berupaya ditengahi Center of Social Excellence (CSE) Indonesia, inisiatif dari The Forest Trust (TFT). Secara resmi, CSE Indonesia diluncurkan di Jakarta, Kamis (30/7). Selain memfasilitasi proses belajar, CSE Indonesia ditujukan untuk penyediaan tenaga 'social specialist' yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mentransformasikan dan memfasilitasi penanganan juga penyelesaian konflik sumber daya alam. Hal itu termasuk dalam kerangka penghormatan hak-hak adat dan masyarakat lokal.
Ketika TFT mulai berkegiatan di Kongo pada 1999, mereka menemukan kendala yang sama dengan Indonesia. Kala itu tidak banyak pakar sosial yang bisa menangani konflik lingkungan. Alhasil, pakar harus didatangkan dari Prancis. Ini berimplikasi pada ongkos yang mahal dalam penyelesaian konflik lingkungan. Banyaknya lulusan perguruan tinggi belum sejalan dengan pemenuhan kebutuhan pakar karena mereka rata-rata masih kurang pengalaman.
Duduk bersama Kehadiran lebih banyak pakar sosial di Tanah Air sangat diharapkan kalangan pengusaha, salah satunya Asia Pulp and Paper (APP). Perusahaan yang bergerak di sektor bubur kertas dan kertas itu memiliki total penghasilan sekitar US$12 miliar dari penjualan ke 123 negara dan mempekerjakan 79 ribu jiwa. Di Indonesia, ada sembilan fasilitas produksi APP. Ketika menghadapi konflik lingkungan, baik bersinggungan dengan masyarakat, LSM, ataupun regulasi pemerintahan, konsekuensi langsungnya ialah kerugian yang bisa terukur.
Hal yang tengah mereka coba hadapi termasuk deforestasi yang mengancam ketersediaan bahan baku. Aida Greenbury dari APP mengungkapkan sejak 2013 perusahaannya memberlakukan kebijakan konservasi hutan untuk memastikan tidak terjadi deforestasi di rantai pemasoknya. Itu artinya tidak boleh lagi ada penebangan hutan alam, pengurangan emisi rumah kaca, penghormatan hak penduduk setempat, dan dukungan terhadap manajemen hutan yang bertanggung jawab.
Saat ini penyebab utama konflik lahan di Indonesia terkait dengan tata batas 36%, perambahan hutan 26%, pencurian kayu 23%, kerusakan lingkungan lingkungan 12%, dan sisanya alih fungsi lahan.
"Konflik lahan yang kompleks dan dinamis di Indonesia membutuhkan pendekatan yang melibatkan berbagai pihak sekaligus untuk memastikan keinginan semua pihak terpenuhi. Resolusi konflik sosial tidaklah gampang, makanya kita setuju dengan CSE," kata dia menjelaskan perlunya pakar sosial sebagai mediator semua pihak terkait.
Hal itu diamini Hariyadi Kartodiharjo, Guru Besar Ilmu Kehutanan IPB yang juga Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam korupsi sumber daya alam. Menurutnya, pemerintah sebagai lembaga pembuat kebijakan juga kerap membuat regulasi yang justru memproduksi dan mereproduksi konflik.
Staf Khusus Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mahir Takaka mengambil undang-undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai contoh. Implementasinya kurang dan belum ada jaminan alokasi anggarannya. Hal itulah yang membuat banyak wilayah adat tergusur. Wilayah adat Lusan di Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, hanyalah salah satunya. Tadinya seluas 53.542 ha, kini wilayah adat itu menyusut menjadi 409 ha saja. Itu terjadi setelah konsesi pertambangan, pemanfaatan sebagai hutan lindung, HPH, dan HGU.
Persoalan kebijakan itu makin diperburuk indikator performa pemerintah kita yang didasarkan pada terserapnya anggaran. "Indikator performa mestinya penyelesaian konflik, tapi tidak ada," kritik Hariyadi.
Selanjutnya, Hariyadi menegaskan ada paradigma yang mesti dibalik lantaran di mana-mana sumber daya alam lebih banyak dikelola sektor privat. Akibatnya, konflik pun dianggap sebagai konflik privat, bukan sebagai konflik masyarakat yang harus diselesaikan pemerintah.
Banyaknya konflik tumpang tindih menuntut pola kerja sama yang harus dibangun semua sektor. Karena itu, berhentilah saling menyalahkan! (Her/M-5)