Mata Air Kehidupan

MI/IWAN J KURNIAWAN
30/8/2015 00:00
Mata Air Kehidupan
(MI)
UDARA sedikit gerah di kawasan Gua Kreo. Namun, pemandangan Bendungan Jatibarang yang berada tepat di kawasan tersebut membuat kantuk sedikit hilang saat turun dari mobil. Di jalan menurun yang sudah ditata rapi, ada segerombolan monyet.

Semuanya sengaja dilepas liar. Mereka terbagi dalam tiga kelompok. Biasanya mereka menunggu pengunjung, berharap agar orang-orang yang baik hati menyodorkan pisang atau kacang-kacangan. Kabarnya, monyet-monyet itu ialah penjaga gua. Mereka telah ada sejak ratusan tahun silam.

Di kawasan itu, selain monyet-monyet, penguasa Gua Kreo, warga setempat juga masih menjaga tradisi. Itu mereka lakukan lewat ritus nyadran kali, sebuah ritual atau semacam selamatan untuk menjaga mata air di kali agar tetap jernih dan bersih.

"Kami lakukan tradisi ini agar kali tetap bersih. Ini warisan adat sehingga pantang untuk dilanggar. Bila dilanggar bisa berakibat buruk," tutur Mas Duki, 44, penggerak kebudayaan di kawasan Gua Kreo, Desa Kandri, Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, pekan lalu.

Keburukan yang fatal, menurutnya, bisa terjadi kemarau panjang. Itulah yang warga khawatirkan sehingga mereka tetap melakukan ritus yang sudah diwariskan dari para leluhur. Tradisi nyadran kali memang menjadi ritus yang tersebar di Pulau Jawa.

Intinya, warga melakukan upacara semisal sendang gede demi menjaga hubungan dengan alam. Itu bertujuan agar mata air tetap mengalir. Dengan demikian, air tanpa disadari telah memberikan penghidupan bagi warga sekitarnya.

"Tiap Jumat Kliwon kami melakukan ritual ini. Biasanya yang kami bawa berupa kepala kerbau, tumpeng, dan jada (semacam makanan dari ketan), dan gong sebagai penghibur," tutur pendiri Umah Pohong itu.

Tradisi nyadran kali merupakan semacam upacara adat bagi masyarakat setempat. Itu hampir mirip dengan larungan di Blitar atau labunan di Malang, Jawa Timur. Namun, uniknya, warga di sekitar Gua Kreo masih menjaga tradisi menggunakan musik kampling.

Dikabarkan, musik pukul bertemakan religius itu dibawa Sunan Kalijaga. Musik kampling kerap dimainkan 6-9 orang. Para pemukul rebana atau alat tabuh merupakan tetua-tetua setempat. Tidak ada regenerasi sehingga anak-anak pun hampir enggan memainkan alat musik khas setempat itu.

"Di dalamnya, ada lagu-lagu tembang Jawa. Ini berhubungan dengan budaya dakwah sehingga bisa memberikan pencerahan bagi masyarakat. Pada tradisi nyadrang kali, kami biasanya menggunakan kampling dengan musik lesung (alat penumbuk padi)," papar Mas Duki.

Pada siang hari, di sepanjang jalan dan tepian kali sekitar kampung, suasana sangat ramai dipenuhi masyarakat dan pedagang kaki lima. Mereka pun berbaur untuk berdagang sekaligus menikmati acara tersebut.

Pemberangkatan menuju ke kali bergantung pada keadaan air yang ada di bendungan. Setiap warga pun diwajibkan untuk membawa hasil bumi. Itu sebagai bentuk untuk dipersembahkan kepada penguasa kali. Bila diperhatikan, ada unsur magis pada tradisi itu. Hal itu membuat pengunjung pun akan merasa betah mengikuti upacara adat tersebut.

Menarik wisatawan

Kini, Desa Kandri sudah ditetapkan sebagai kawasan desa wisata. Para pengunjung pun bisa menginap di rumah warga yang biasanya dijadikan sebagai penginapan 'murah meriah', yaitu berupa pondok-pondok wisata.

Tak mengherankan bahwa tradisi nyadran kali telah menjadi bagian tak terpisahkan sebagai upaya untuk menarik wisatawan. Perayaan pun cukup meriah karena melibatkan unsur masyarakat dan perangkap desa setempat.

Keberadaan nyadran kali menjadi penting. Ada nilai-nilai lokal yang warga percaya. Pertama, lewat tradisi itu, sungai ataupun kali akan tetap terpelihara. Kedua, hasil berupa udang dan ikan di kali akan tetap banyak. Ketiga, menjaga hubungan dengan Tuhan yang Mahakuasa karena telah memberikan alam dan isinya.

Mas Duki selalu hadir untuk mengikuti nyadran kali. Baginya, itu merupakan warisan leluhur agar anak cucu tetap menjaga kali. Apalagi, ada mata air sebagai sumber kehidupan di sana.

"Mata air itu penting demi keberlangsungan hidup. Bayangkan bila di desa ini tak ada mata air. Pasti akan kekeringan dan warga pun bisa mati kelaparan," paparnya.

Memang betul penyataan Mas Duki. Mata air selalu menjadi sumber penghidupan utama. Mata air pula yang dapat memberikan kesegaran sehingga air yang mengalir melewati desa bisa dimanfaatkan sebagai kebutuhan sehari-hari, mulai cuci hingga minum.

Giarsito Sapto Putratmo, warga setempat, mengaku keberadaan tradisi nyadran kali menjadi bukti penting bahwa warga masih menjaga nilai-nilai kearifan lokal sebagai cara menjaga alam dan isinya. Meski demikian, ia mengaku tradisi tersebut perlu dirawat dan dijaga agar tidak hilang dari pengaruh zaman.

"Di sini juga ada cerita rakyat, kesenian rakyat, dan tradisi yang masih kuat. Keberadaan Kandri sebagai desa wisata menjadi penting. Kami pun melakukan pembinaan kepada warga agar desa ini bisa menjadi contoh untuk menari pengunjung," jelas pembina Desa Wisata Kandri itu.

Budayawan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam suatu diskusi pernah menuturkan pentingnya kearifan lokal. Menurutnya, budaya lokal itu perlu diangkat dan dijaga guna menjaga warisan yang sudah dipelihara sejak para pendahulu. Ada hubungan antara manusia dan alam.

Kini, lewat tradisi nyadran kali Gunungpati, warga pun bergotong-royong membawa aneka keperluan untuk 'selamatan'. Yakni, berupa tumpeng. Ada pula doa-doa yang dikumandangkan tetua adat. Tujuannya agar air tetap bersih sehingga bisa memberikan penghidupan bagi warga sekitarnya. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya