HARUM bubuk kayu nangka masih tercium di ujung hidung. Serbuk-serbuk pun sengaja dibiarkan menggeletak di lantai. Itu bukanlah sampah atau limbah. Di tangan pematung Agoes Salim, benda-benda itu dimanfaatkan sebagai kesatuan, sejiwa, dan senyawa, menjadi karya seni.
Di pelataran Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, satu per satu tamu hadir, malam itu. Mereka berdatangan untuk melihat karya-karya Agoes yang tergolong lucu, unik, dan khas. Ia memanfaatkan pohon nangka sebagai media berkarya. Itulah bentuk keuletan seorang perupa asal Jepara tersebut.
Karya-karya itu terpajang di lantai hingga tergantung di ruang pameran. Karya yang ada di lantai merupakan suguhan terbaru Agoes. Ia memanfaatkan serbuk hasil gergaji untuk dipajang sebagai satu kesatuan instalasi berjudul Senyawa Kayu.
Kesenyawaan itu bisa kita lihat pada hubungan serbuk dan objek lain, berupa ukiran-ukiran yang digantung ke langit-langit. Penyatuan dua materi yang berbeda itu melahirkan ekspresi seni atas nama identitas.
Karya berjudul Senyawa Kayu itulah yang membuat Agoes pun menuangkan kembali lewat tajuk pamerannya tersebut dengan nama yang sama. Ada sebuah persenggamaan untuk melahirkan identitas kultural. Apalagi, ia memang berasal dari daerah yang lekat dengan kerajinan ukir yang sudah mendunia.
Pameran itu berlangsung sejak Kamis, (20/8) hingga Senin, (31/8). Agoes menjadikan pameran itu sebagai sebuah perenungan hidup di usianya yang menginjak 57 tahun, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Saat menengok puluhan karya Agoes, pengunjung bisa memahami hubungan antara alam dan manusia. Dia memanfaatkan bahan berupa kayu nangka karena pohon itu mudah ditemukan. Selain itu, kayu nangka punya kadar air yang baik sehingga bisa bertahan lama.
"Ini memang satu tema yang utuh. Saya menggunakan bahan kayu nangka karena mudah didapat. Tema utama pameran ini tidak terlepas dari hubungan manusia dengan alam. Saya memanfaatkan kayu untuk berkarya saja," ujarnya di sela-sela pameran, pertengahan pekan ini.
Tak jarang pengunjung pun berfoto ria dengan latar belakang karya. Itu menjadi sebuah gairah yang selalu ada pada setiap pameran di Ibu Kota. Pengunjung tidak sekadar melihat keunikan dan kekhasan suatu karya tertentu. Namun, mereka pun memilih untuk berfoto ria untuk dipajang di jejaring sosial atas nama eksistensi.
Terlepas dari tabiat pengunjung, karya-karya Agoes memang mengingatkan pada seni pahat. Agoes tetap eksis. Karya-karya di sini merangkum beberapa tema. Ada kebangsaan, kerinduan, dan pertemanan.
40 tahun berkarya Tema kebangsaan terlihat pada karya Negeri di Awan. Pada objek itu, terlihat tumpukan kayu yang berkaitan. Di bagian bawahnya terdapat serbuk. Lalu, ada kayu vertikal yang di atasnya kayu horizontal, dan terakhir sebuah pohon kecil berakar yang diikat menggunakan tali nilon ke langit-langit. Ada suguhan unsur kontemporer sehingga membuat karya itu bisa ditafsirkan dengan beragam pendekatan.
Benny Ronal Tahalele, praktisi seni, menilai tema senyawa menjadi pencapaian Agoes yang cukup penting. Apalagi, bagi pematung tersebut, ini menjadi tahun ke-40-nya dalam berkesenian. "Ia mampu mewujudkan dan mengapresiasikan semua pengalaman, baik penghayatan maupun pencapaian eksistensi kepematungannya," ujarnya.
Selain sebagai seniman, Agoes mengajar di Institut Kesenian Jakarta. Pengaruh akademisi itu membuat karya instalasi dan patung karyanya lekat dengan teori dan ingatan pada gaya kerajinan di Jepara. Itu membuat Agoes mampu menyuguhkan kejutan-kejutan.
Tengok saja pada karya-karyanya yang berjudul Keplinger, Tulang Ekor, Friendly, Gaun Malam, dan Ronggeng. Bila kita tengok secara cermat, karya tersebut bisa dibilang sebagai karya keterampilan dan kerajinan. Semuanya memiliki makna kuat sebagaimana asal sang seniman, yakni Jepara.
Praktisi seni Taufan S Chandranegara menilai karya-karya Agoes begitu kuat. Terutama, karyanya menunjukkan gaya meditasi akal, mistik, dan estetik. "Agoes membuat karya yang tengah menuju keesaan," ujarnya.
Lewat pameran kali ini, kayu nangka tak sekadar menjadi ornamen. Namun, Agoes menyajikan senyawa-senyawa yang berarti dan penuh makna. Sayang, tema utama masih belum begitu fokus pada kesenyawaan. Ada karya-karya yang meluas lewat gaya bahasa metafora, terutama judul yang kurang menarik mata. (M-6)