Kota Ramah Anak Dimulai dari Lingkungan Terdekat

MI/SITI RETNO WULANDARI
30/8/2015 00:00
Kota Ramah Anak Dimulai dari Lingkungan Terdekat
(MI/ATET DWI PRAMADIA)
BUKAN keamanan yang mengisi kepala Siti Syarah kala anaknya bermain di luar rumah, melainkan perkembangan perilaku putra pertamanya, Aqiilah Ammar Tsaqif. Perempuan yang karib disapa Sarah itu melarang Ammar bermain di luar rumah lantaran pergaulan anak-anak yang kurang baik, contohnya anak kecil sudah berbicara kasar dan tidak sopan.

"Bersosialisasi juga penting menurutku. Karena itu, di usia yang baru 3 tahun 9 bulan, Ammar sudah terdaftar menjadi murid playgroup supaya memiliki tempat penyaluran aktivitas yang baik dan tidak menjadi anak yang kuper dan egois," jelas ibu dua anak itu yang merasa lingkungannya sangat belum ramah terhadap anak, Rabu (26/8).

Jika sepupunya datang, Ammar diperbolehkan bermain bola di jalanan depan rumah. Tentunya dengan pengawasan Sarah atau sang nenek karena lokasi rumahnya berada di gang sempit yang banyak dilalui pemotor. Didikan Sarah agar Ammar tidak terlalu sering bermain di luar diterima dengan baik. Hingga kini, bocah superaktif itu lebih memilih bermain di dalam rumah ketika tidak ada saudara sepupunya.

Beberapa perilaku kejahatan yang mengintai anak kecil ia paparkan kepada sang putra sehingga ia menjadi sangat pemilih ketika akan bermain. Ia lebih senang berada dalam kondisi yang tidak panas. Karena itu, ketika sepupunya datang, mereka akan bermain di dalam rumah dan pasti akan menyisakan pekerjaan tambahan bagi Sarah.

"Keponakan aku kebanyakan laki-laki, ya sudah kalau main bola jadinya di dalam rumah hahaha cape mulut dan badan. Anak-anak kecil di sekitar rumah juga kalau bermain bola di jalanan karena tidak ada tanah lapang yang bisa dijadikan ruang bermain," imbuh Sarah.

Di dekat lingkungannya tidak tersedia taman kota atau lahan kosong untuk bermain. Namun, 100 meter dari rumahnya, terdapat taman yang berada di pinggir Sungai Cisadane dan jalan utama Kota Tangerang. Sarah menilai lokasi itu tidak aman dan tidak membawa buah hatinya bermain di taman itu. Padahal, kehadiran taman sangat penting bagi tumbuh kembang anak sehingga anak bisa aktif bermain di luar dan tidak melulu pergi ke mal untuk mendapatkan permainan yang menyenangkan.

Pendidikan ramah anak
Kehadiran anak kecil dengan cara bicara kasar dan tidak sopan juga dirasakan Lisa Rahmawaty, warga Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Tak hanya ucapan, terkadang perilaku mereka mengarah kepada nilai yang negatif. Lisa menceritakan pengalaman anak tetangganya yang enggan  menemui teman-temannya. Sang ibu sempat merajuk kepada anaknya agar menemui temannya tersebut.

"Ya, tetangga aku tanya kenapa anaknya enggak mau temuin temannya sendiri, ternyata anaknya itu sudah memiliki pemahaman baik dan buruk, ia bilang kalau bermain dengan temannya tersebut akan disuruh belajar merokok dan menonton video 17 tahun ke atas," tutur Lisa mengingat pelajaran yang diberikan dari cerita sang tetangga. Kehadiran Kanal Banjir Timur (KBT) kerap dijadikan tempat bagi para bocah atau remaja sebagai tempat nongkrong dan tentu tanpa pengawasan dari kedua orangtua ataupun pihak berwajib.

Tingginya angka kriminalitas pun mengajarkan Lisa untuk terus berpesan kepada kedua buah hatinya agar tidak keluar pagar tanpa pendampingan. Ketika putri pertamanya Alana, 4, ingin bermain di taman dekat sekolah, Lisa memastikan putrinya bermain dengan pengawasan dirinya atau guru sekolahnya.

Kalau untuk ketersediaan taman, Lisa mengakui cukup. Di setiap rukun tetangga pasti ada taman yang kerap digunakan bermain anak-anak sembari disuapi makan sore oleh orangtuanya. Sementara itu, taman besar yang berisi beberapa permainan, seperti papan seluncur, jungkat-jungkit, dan ayunan berada di dekat sekolah Alana.

"Tetapi ya begitu, sepi, petugas keamanan hanya satu yang berkeliling sementara pepohonan rindang," imbuhnya. Hal lain yang menjadi sorotan kondisi ramah anak adalah persoalan pendidikan. Lisa mengaku di daerahnya banyak tersedia tempat pendidikan semacam taman kanak-kanak (TK) ataupun playgroup. Bahkan, imbuh Lisa, kantor rukun warga (RW) juga dijadikan tempat belajar anak-anak dan tidak memungut bayaran. Soal kualitas, Lisa menyebut tidak berbeda jauh dengan sekolah-sekolah lain berstandar nasional ataupun internasional.

"Dukungan pendidikan sih oke, dekat dengan perumahan, pengawasan menjadi lebih mudah. Di sini anak enggak dipaksa untuk harus bisa membaca dan menulis. Yang terpenting bisa beraktivitas dengan baik. Perlahan anak pasti bisa baca tulis dengan cara yang ramah," imbuhnya. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya