YOGYAKARTA selalu kaya cerita. Berulang kali disambangi, kota dan wilayah di sekitarnya selalu meninggalkan aneka inspirasi. Perjalanan kali ini ada banyak agenda yang ditunaikan. Salah satunya, menikmati Hotel Horison Lynn, penginapan berkonsep butik yang berjarak 30 menit dari Bandara Adisutjipto. Lokasinya di Jalan Jogokaryan 82. Lobi yang terbilang cukup mewah, membuat saya tidak mengira hotel ini berbintang tiga. Cerita pohon kawung"Selamat datang di Horison Lynn Yogyakarta," ujar Inda Rambu, General Manager Horison Lynn, kepada kami, para jurnalis yang diundang khusus .
"Harga kamar masih sangat terjangkau, mulai dari Rp488.000. Selain itu, lokasi Horison Lynn juga dekat ke pusat wisata Kota Yogyakarta. Hanya 15 menit menuju Malioboro, 5 menit ke Keraton Yogyakarta, dan 30 menit ke Bandar Udara Internasional Adisutjipto," ujar Inda. Ada 112 kamar kelas standar dan suite di sini. Pihak hotel juga menyediakan berbagai macam fasilitas lainnya, seperti restoran, kolam renang, dan lima ruang pertemuan dengan kapasitas hingga 240 orang. Batik kawung menjadi tema desain di sini.
Motif kawung konon diciptakan salah satu Sultan Mataram, terilhami sebatang pohon aren yang punya banyak manfaat. Salah satunya, buahnya yang disebut kolang-kaling kerap hadir dalam sajian minuman dingin di berbagai tradisi dapur Nusantara. Filosofi pohon aren, dari atas, ujung daun, sampai pada akarnya lekat dengan kehidupan manusia. Batangnya menjadi bahan sagu, daunnya sebagai atap, nira sebagai bahan gula, dan tentunya buahnya yang bening kenyal.
Hal tersebut mengisyaratkan manusia dapat berguna bagi siapa saja dalam kehidupannya. "Filosofi itulah yang mengisyaratkan bahwa Horison Lynn Yogyakarta akan bermanfaat bagi sekitar, salah satunya yaitu dapat menambah peluang lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal setempat," sambung Inda. Seusai berbincang, kami beristirahat agar bisa prima mengikuti padatnya jadwal esok hari. Saya mendapat kamar bernomor 316.
Tipe kamar superior twin dengan dominasi interior kayu seluas 20 meter persegi ini terasa lapang dan nyaman. Lantainya kayu cokelat gelap dibalut dinding kayu berwarna cokelat tua. Tak kalah istimewa, ranjang king size yang terasa lapang dan nyaman buat tipe kamar yang terdiri atas dua tempat tidur.
Restoran di tepi kolam Pagi ialah waktu terbaik buat mengeksplorasi fasilitas hotel yang bagi saya mencerminkan ketelitian menjaga kualitas. Kolam renang berukuran 5 meter x 12 meter di antara lobi dan restoran yang jernih terawat menjadi pembuka pagi saya yang menyenangkan. Seusai berenang selama 45 menit, saya langsung bergegas sarapan di restoran yang letaknya di depan kolam renang. Sereal, omelet, nasi, dan buah menjadi modal saya berpelesir hari ini.
Susur Gua Pindul Gua Pindul di Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, destinasi wisata favorit para pelancong yang ingin lepas dari keriuhan Yogyakarta jadi tujuan pertama kami pagi ini. Selama satu jam kami menuju ke sana. Namun, di masa liburan, waktu tempuh bisa lebih lama karena kepadatan lalu lintas. Tiba di sana, kami menuju ke Sekretariat Mriwis Putih, salah satu dari sembilan pengelola wisata di sini. Kami memilih dua aktivitas paling populer di sini, yaitu cave tubing di Gua Pindul dan rafting menyusuri Sungai Oya.
Selain dua kegiatan itu, ada outbound, berkemah, off road, dan menginap di rumah penduduk yang juga bisa dieksplorasi. Dua kegiatan yang kami pilih, masing-masing bertarif Rp35.000 per orang. Kami mendapat karet ban, baju pelampung, dan sepatu, serta ditemani satu pemandu dan fotografer. Setelah melengkapi diri dengan peralatan keamanan, kami diantar menuju lokasi menggunakan kendaraan bak terbuka.
Jarak yang ditempuh hanya sekitar lima menit, sesampainya di lokasi, kami pun langsung bergegas ke titik Gua Pindul. Panjang gua alam ini sekitar 350 meter dengan lebar 5 meter. Jarak permukaan air dengan atap gua ialah 4-5 meter dengan kedalaman air sekitar 5 hingga 12 meter. Gua ini juga disebut-sebut sebagai salah satu lokasi cave tubing paling tersohor di dunia, sehingga bukan cuma pelancong domestik, wisatawan mancanegara juga ramai-ramai mendatanginya.
Saya dan rombongan pun akhirnya nyemplung menggunakan ban dengan posisi telentang. Selama kurang lebih 45-60 menit, kami diajak menyusuri sungai di gelapnya perut bumi sepanjang 350 meter itu. Tidak diperlukan persiapan fisik khusus untuk melakukan cave tubing di Gua Pindul. Selama berbagai peralatan keamanan seperti ban, jaket pelampung, serta lampu kepala yang semuanya sudah disediakan pengelola terpasang, perjalanan wisata ini terbilang aman dan nyaman. Aliran sungai yang sangat tenang menjadikan aktivitas ini aman dilakukan anak-anak hingga dewasa.
Cahaya surga Waktu terbaik cave tubing di Gua Pindul ialah pagi hari sekitar pukul 09.00 hingga pukul 10.00 pagi. Selain karena airnya tidak terlalu dingin, jika cuaca sedang cerah pada jam-jam tersebut akan muncul fenomena yang disebut cahaya surga, yang berasal dari sinar matahari yang menerobos masuk melewati celah besar di atap gua.
Sambil merasakan dinginnya air sungai yang membelai tubuh di tengah gua yang minim pencahayaan, seorang pemandu bercerita tentang asal-usul penamaan Gua Pindul. Menurut legenda yang dipercayai masyarakat dan dikisahkan turun temurun, nama Gua Pindul dan gua-gua lain yang ada di Bejiharjo tak bisa dipisahkan dari kisah pengembaraan Joko Singlulung mencari ayahnya. "Jadi, menurut cerita yang beredar, setelah menjelajahi hutan lebat, gunung, dan sungai, Joko Singlulung pun memasuki gua-gua yang ada di Bejiharjo. Saat masuk ke salah satu gua, mendadak Joko Singlulung terbentur batu sehingga gua tersebut dinamakan Gua Pindul yang berasal dari kata pipi gebendul," ujar Dwi, pemandu yang sudah bekerja sebagai pemandu di Gua Pindul sejak dua tahun lalu.
Selain menceritakan legenda Gua Pindul, Dwi juga menjelaskan ornamen yang ditemui di sepanjang pengarungan. Di gua ini terdapat beberapa ornamen cantik, seperti batu kristal, moonmilk, serta stalaktit dan stalagmit yang indah. Sebuah pilar raksasa yang terbentuk dari proses pertemuan stalaktit dan stalagmit yang usianya mencapai ribuan tahun menghadang di depan. Di beberapa bagian atap gua juga terdapat lukisan alami yang diciptakan kelelawar penghuni gua. Di tengah gua, terdapat satu tempat yang menyerupai kolam besar dan biasanya dijadikan tempat beristirahat sejenak sehingga wisatawan dapat berenang atau terjun dari ketinggian.
Sungai Oya,tebing jelita Setelah sekitar 40 menit menyusuri Gua Pindul, kami pun kembali bergegas kembali ke mobil bak terbuka untuk menuju Sungai Oya. Kendati kegiatan di sana disebut rafting, tapi kami tetap menggunakan ban. Bedanya, jika di Gua Pindul bergelap-gelapan, di Sungai Oya, kami menyusuri sungai di alam terbuka. Panjang Sungai Oya sekitar 1,5 kilometer. Arus sungai yang tenang bisa dinikmati dengan durasi sekitar satu setengah jam.
Sepanjang aliran sungai juga terdapat tebing-tebing yang indah dan alami. Dengan ditemani pemandu dan peralatan pengaman, kami tidak perlu takut mengarungi sungai dengan kedalaman sekitar 7 hingga 11 meter ini. Sesekali saya pun turun ke dalam air dan menyusuri sungai dengan berenang. Kami juga menjumpai Air Terjun Pengantin yang rupawan, beristirahat sejenak di sana untuk turun. Pengunjung juga bisa melakukan uji adrenalin dengan melompat dari tebing alias natural wall jumping. Berbagai ketinggian bisa dicoba di sini. Byur... ini baru namanya liburan!