SABTU selalu istimewa buat Muhammad Irsyad, 16, dan tak kurang 200 kawannya yang tergabung dalam Special Olympics Indonesia (SOIna) lainnya. Berpakaian olahraga, sebelum pagi terbit, mereka telah berangkat menuju Gelanggang Olahraga Velodrome Rawamangun, Jakarta Timur.
Selama satu jam, pukul 07.00 hingga pukul 08.00, ramai-ramai mereka berlari, melatih tangan dan kaki, serta gerakan motorik lainnya. Menyandang gelar atlet, bahkan sebagian mendapat kalungan medali pada Special Olympic World Games 2015 Los Angeles, Amerika Serikat, 25 Juli sampai hingga 2 Agustus lalu, tak membuat Irsyad dan 41 temannya yang mewakili Indonesia berlaga di sana, bisa dengan lancar melahap porsi latihan pagi itu.
Sebagian dari mereka beberapa kali harus ditarik kembali ke lintasan karena cuma berjalan. Slamet Sukriadi, pelatih SOIna Rawamangun, harus beberapa kali mendekati dan memberi contoh.
Tak mudah bagi Irsyad dan teman-temannya yang disabilitas mental, sebagian down syndrome, dan lainnya memiliki indeks intelektual di bawah 70, untuk fokus dan mulus mengikuti perintah pelatih. Namun, tantangan setiap Sabtu serta berbagai sesi latihan lainnya itu pula yang meneguhkan harga diri dan membuktikan mereka dapat melampaui keterbatasan.
Kerja keras serupa juga bisa dilihat di National Paralympic Committee (NPC) yang lokasinya tersebar di Surakarta dan sekitarnya. Di sana, Ni Nengah Widiasih, atlet angkat berat bersama lebih dari 200 atletnya, berlatih setiap hari.
Disabilitas fisik, beberapa di antaranya bergantung pada kursi roda, menjadikan gerakan-gerakan mereka di lapangan bukan cuma jadi penanda kekuatan raga, tetapi juga keteguhan hati.
Indonesia Raya dikumandangkan 99 kali. Atlet-atlet di Solo itu mempersembahkan gelar juara umum pada ASEAN Para Games 2014 di Myanmar. Atlet-atlet SOIna juga mencapai prestasi terbaiknya di Los Angeles, dengan membawa pulang 36 medali. Prestasi ditegakkan, inspirasi mereka tebarkan. (Wnd/FR/M-1)