DIPANGGIL tidak sesuai dengan nama sebenarnya seakan menjadi tradisi bagi beberapa kelompok remaja. Mereka menyebut hal itu sebagai panggilan sayang satu sama lain, tetapi ada dampak buruk yang sedang mengintai. Salah satunya penurunan rasa percaya diri akibat sebutan tak sesuai yang dilakukan berulang-ulang.
Suci, 13, kerap dipanggil dengan sebutan buluk. Pasalnya siswi kelas 2 SMP itu mengikuti salah satu ekstrakulikuler yang berkegiatan di waktu matahari sedang terik-teriknya. Awalnya ia menganggap panggilan tersebut sebagai sebuah candaan, semakin lama dirinya risih, kesal, dan berujung marah. Ia pun gelisah ketika memutuskan untuk pergi bersama teman-temannya, tak percaya diri untuk mengenakan pakaian lantaran kulitnya yang menghitam.
Perlahan orangtuanya mulai curiga, pasalnya Suci menjadi mudah marah. Saat diketahui penyebabnya, Suci mengaku orangtuanya hanya meminta dirinya untuk tersenyum dan menunjukkan prestasi diri. "Kata ibu, jangan dibalas, biar saja tetapi aku harus nunjukin kalau punya kemampuan supaya mereka menghargai," tukas bocah cilik yang ditemui saat sedang bermain dengan teman-temannya itu, Rabu (19/8).
Gawai menjadi alat Tak hanya usikan yang dilakukan secara tatap muka. Kini perundungan semakin meluas dan gawai menjadi salah satu alat perpanjangan, mulai murid sekolah dasar hingga kaum dewasa menggunakan media sosial. Mereka dengan mudah mengomentari satu sama lain, tanpa mengenal baik siapa yang sedang dikomentari. Beberapa artis, bahkan meluas hingga keluarga mereka, kerap menjadi sasaran para pengguna media sosial. Alya Rohali menceritakan bagaimana anak pertamanya, Namira Adjani Ramadina, mengalami perundungan dari para pengguna Instagram.
"Aduh kok enggak secantik mamanya sih, begitu tuh komentar para pengguna Instagram di akun Adjani. Saya bilang ke Jani agar tidak menghiraukan karena mereka enggak tahu kita seperti apa. Jani pun tak pernah memikirkan hal tersebut, apalagi sampai kesal," tukas Alya saat ditemui pada acara kampanye #BeraniSenyum123 Pepsodent di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (12/8).
Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan lingkungan sekarang berbeda dengan dahulu, anak menjadi lebih rentan terkena perundungan. Karena perkembangan teknologi, yang tadinya perundungan hanya bisa dilakukan saat bertemu, saat ini sudah masuk kamar pun masih bisa diusik. Karena itu, orangtua harus sangat waspada terhadap putra putrinya yang memiliki media sosial. Akan tetapi, jangan langsung memarahi anak di media sosialnya jika ia melakukan hal yang salah.
Beri pemahaman juga kepada anak mengenai jangkauan media sosial yang sangat luas. Itu bisa dibaca siapa pun sehingga jangan sampai menyakiti orang lain dengan unggahan ataupun membajak karya orang lain. "Cara menghalau perundungan melalui media sosial, ya, jangan dibalas. Kalau anak kita melakukan hal salah, ya, ajak diskusi bukan malah ikut berkomentar di akun medsos si anak," ujar Vera.
Imunisasi dan senyum Shahnaz Haque selalu menekankan kepada ketiga anaknya untuk menganggap perundungan sebagai kegiatan imunisasi. Ia menganalogikan perundungan sebagai bakteri yang sengaja dimasukkan ke tubuh agar kita menjadi kebal terhadap virus tersebut. Guna menjadi baik dan berhasil, imbuh Shahnaz, tidak didapat dengan mudah, pasti banyak rintangannya.
Jika didampingi dengan baik, perundungan justru bisa memecut semangat anak untuk tampil lebih baik. Karena itu, komunikasi yang baik menjadi cara tepat untuk bisa mendukung anak melewati masa perundungan. "Setiap anak itu memiliki keahlian yang berbeda, bantu mereka untuk mengaktualisasikan diri. Saya memberi kesempatan untuk mengikuti kemauan yang positif dari anak, membiasakan anak untuk bercerita dengan kita (orangtua) dulu yang memulai. Jangan lupa untuk selalu tersenyum, anak itu kan mengikuti perilaku orangtuanya. Senyum menjadi tanda hati riang dan siap menghadapi tantangan," tukas Shahnaz disertai anggukan Alya Rohali.
Sementara itu, Vera memaparkan aktivitas tersenyum itu perlu untuk diingatkan, tidak perlu ada alasan untuk tersenyum. Karena dengan tersenyum, otak akan melepaskan hormon endorfin sehingga tingkat stres menurun dan diri selalu merasa bahagia. Kepercayaan diri tumbuh, nyaman beraktivitas, sehingga risiko perundungan berkurang. "Pelaku perundungan itu latar belakangnya macam-macam, bisa dia korban perundungan, terpengaruh oleh tontonan televisi, pola disiplin yang terlalu keras sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memilih, dan penghargaan dirinya rendah sehingga hanya bisa menekan, seakan enggak punya keahlian," pungkas Vera. (M-4)