Jodohkan Owa Jawa demi Regenerasi

MI/SITI RETNO WULANDARI
23/8/2015 00:00
Jodohkan Owa Jawa demi Regenerasi
(ANTARA/RIVAN AWAL LINGGA)
BERGELAYUT ke sana kemari dengan bantuan ikatan tambang hingga ayunan dari potongan ban karet. Sesekali, Delon, 2,5, mengeluarkan suara sembari memperhatikan gerak-gerik kami melalui matanya yang bulat besar. Delon merupakan owa jawa (Hylobates moloch) yang sebelumnya menjadi peliharaan salah seorang warga di daerah Ciamis.

Ia tidak sendiri. Dalam satu kandang besi berjaring itu, Delon tinggal bersama dengan temannya yang juga berkelamin jantan. Sementara itu, persis di sisi kandangnya terdapat dua betina, yang juga masih asyik bermain, salah satunya diberi nama Novi.

Ayung, salah satu perawat di Javan Gibbon Center (JGC), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, menjelaskan kandang yang ditempati Delon dan Novi merupakan kandang introduksi. "Ruang untuk saling mengenal, kami dekatkan supaya timbul ketertarikan. Begitu kami buka sekat, kalau sama-sama suka mereka akan saling mendekat. Kalau enggak cocok, ya, enggak akan tercipta keluarga baru," tukas Ayung sembari mengenalkan 21 owa jawa yang terdapat di pusat konservasi dan rehabilitasi tersebut, Selasa (4/8).

Sama seperti manusia, owa jawa berkembang biak dengan cara melahirkan. Hanya, jenis kera dengan bulu keperakan itu bersifat monogami (setia pada satu pasangan). Apabila salah satu dari pasangan tersebut mati, sangat mungkin pasangan lainnya akan menyusul karena dilanda stres dan tidak mau dijodohkan dengan lawan jenis lainnya.

Kalau sudah begitu, keturunan baru pun sulit untuk dihasilkan. Sifat tersebut yang membuat populasi spesies dengan habitat di Pulau Jawa itu kian menipis. Data penelitian pada 2010 menyebutkan ada sekitar 2.140 hingga 5.310 individu. Sementara itu, yang hidup di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dicatat Yayasan Owa Jawa sebanyak 400-500 individu.

Lalu apa manfaat owa jawa bagi lingkungan? Ayung mengatakan jangkauan hidup owa jawa yang luas membantu persebaran biji dari tanaman hutan. Satu keluarga owa jawa memiliki wilayah teritorium seluas 20 hektare. Mereka berpindah tempat, buang air besar yang mengandung biji tumbuhan.

"Owa jawa jadi indikator hutan yang sehat. Satu keluarga tidak akan mengganggu teritorium keluarga lain. Hal tersebut mereka tandai dengan mengeluarkan bunyi suara," tukasnya.

Jangan tebangi hutan
Cara terbaik untuk menyelamatkan populasi owa jawa dengan cara tidak menebangi hutan. Ketua Yayasan Owa Jawa Noviar Andayani menyebut sekitar 98% hutan di Pulau Jawa habis ditebangi.

Habitat asli mereka terancam punah, sedangkan potensi untuk kawin dan berkembang biak terbilang susah. Jarak kelahiran tiap anak pun sekitar 3-4 tahun.

Usaha lain, imbuh Yani, bisa dilakukan dengan teknologi infitro. Akan tetapi, butuh biaya yang sangat besar dan riset yang mumpuni.

Hal tersebut juga diamini Field Manager Pertamina EP Aset III Subang Defrian Basya. Riset yang lebih detail menjadi salah satu cara lain untuk meningkatkan populasi owa jawa. Pertamina, khususnya EP Subang, sudah menjalankan kemitraan dengan Yayasan Owa Jawa sejak 2013. Rencana awal, Selasa siang itu rombongan media akan menyaksikan pelepasliaran pasangan owa jawa yang ketiga. Namun, hal itu urung dilakukan karena owa jawa yang hendak dilepasliarkan dinilai tidak siap.

"Syarat mutlak untuk bisa dilepasliarkan itu harus berpasangan supaya bisa membentuk keluarga baru, berkembang biak secara alami. Seperti yang diminta Yayasan Owa Jawa agar perjanjian bisa dilakukan dalam periode yang cukup panjang supaya riset mendalam juga bisa dilakukan," tukas Defrian seusai menandatangani perjanjian kerja sama di Lido Resort.

Keberhasilan membentuk keluarga baru itu juga membutuhkan bantuan kejelian staf di JGC. Para staf harus bisa melihat owa jawa-owa jawa yang memang pas sebagai pasangan.

Ayung menuturkan sebuah kejadian pasangan owa jawa yang justru saling berpencar saat dilepasliarkan. Rupanya kedua owa jawa itu sebenarnya tidak saling cocok ataupun tertarik sehingga di alam pun mereka berpisah. Selain harus berpasangan, Owa jawa yang akan dilepas sudah harus mampu mengonsumsi buah hutan sebanyak 80% -90% sehingga pihak yayasan dan konservasi pun bisa meyakini owa jawa mampu bertahan di hutan liar.

Hal lain, owa jawa merupakan hewan arboreal sehingga harus dipastikan ia tidak lagi berjalan di darat dan tetap bergelantungan dari satu dahan ke dahan lainnya.

Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat terus memantau perkembangan dan keberadaan owa jawa. Mereka menggunakan kamera pemantau yang disebut kamera trap atau dengan radio frekuensi.

"Jalur mendaki berbeda dengan habitat owa jawa. Enggak boleh dilalui supaya tidak mengganggu hidup si keluarga owa jawa yang sudah liar di hutan," ucap Sekretaris Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam dan Ekologi KLHK Novianto Bambang Wawandono.

Kesadaran masyarakat meningkat
Asri, bayi owa jawa dari pasangan Ipuh dan Mel, sungguh menggemaskan. Ia berpegangan erat di pinggang Ipuh, sedangkan Ipuh bergelantungan ke sana kemari sembari sesekali mendekati pasangannya yang sedang terduduk di salah satu sudut kandang berbentuk segitiga. Lucu dan menggemaskan, itulah yang membuat banyak orang tertarik untuk menjadikan owa jawa sebagai peliharaan. Terkadang gigi mereka diratakan agar tidak menggigit si empunya.

Dalam kurun waktu tujuh tahun, terdapat kelahiran bayi sebanyak lima. Akan tetapi, dua di antara mereka mati. Pertama lantaran bayi tersebut terbelit usus di bagian leher.

Kasus kedua, sang betina terkena sindrom baby blues sehingga tak mau merawat bayi. Untuk persoalan pemburuan, Yani mengaku sudah agak berkurang lantaran edukasi yang menyentuh pada tataran masyarakat.

"Seperti kerja sama ini, kami membuat video animasi terkait dengan owa jawa. Belajar dan tahu akan sesuatu memang lebih menyenangkan dengan menonton, bukan sekadar teori. Di JGC, 50% owa jawa merupakan hasil penyerahan masyarakat, 50% lainnya hasil penegakan hukum," imbuh Yani. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya