PERNAHKAH Anda melihat seseorang lalu berusaha menerka apa yang sebenarnya sedang berlangsung di dalam kepala mereka? Inside Out mencoba menjawab hal itu lewat kisah Riley, seorang gadis berusia 11 tahun yang hobi bermain hoki es. Di dalam pikirannya, ada tempat yang disebut sebagai 'headquarters', yakni pusat kendali pikiran. Di sanalah tempat lima emosi bekerja keras.
Joy (Amy Poehler) yang selalu riang dan optimistis, memimpin sekumpulan emosi itu, misinya untuk memastikan Riley tetap bahagia dan berpikiran positif. Lalu ada Fear (Bill Hader) yang mengedepankan aspek keselamatan, Anger (Lewis Black) yang memastikan segalanya berlangsung adil, dan Disgust (Mindy Kaling) yang mencegah Riley 'teracuni' baik secara fisik maupun sosial. Terakhir, ada Sadness (Phyllis Smith) yang mulanya tidak tahu perannya apa di tim emosi tersebut, sebagaimana teman-temannya tidak tahu apa gunanya ada Sadness di antara mereka.
Setiap kali Sadness menyentuh bola ingatan atau pikiran, Riley berubah sedih. Karena itu, Joy dan rekan-rekannya selalu berusaha agar si biru itu tak menyentuh apa pun. Mereka ingin ingatan Riley selalu dipenuhi kebahagiaan.
Kepindahan keluarga Riley dari Minnesota ke San Francisco kemudian mengantarkan Joy dan Sadness ke petualangan yang akhirnya menjelaskan apa peran kesedihan dalam kehidupan manusia. Riley yang tumbuh sebagai gadis ceria dan memiliki banyak teman kemudian harus merasakan seolah segala yang dimilikinya hilang satu per satu. Pindah ke tempat baru karena pekerjaan ayahnya membuat dia kehilangan sahabat, rumah dengan halaman luas, juga danau yang membeku di musim dingin tempat dia biasa bermain ice skating bersama orangtuanya. Mereka harus menempati rumah kecil tak nyaman tanpa halaman untuk bermain.
Kondisi itu diperburuk dengan insiden tersesatnya kontainer yang berisi barang-barang dari rumah lama mereka. Alhasil, berhari-hari mereka harus tinggal di rumah baru tanpa perabot, juga barang-barang yang diperlukan. Bukan hanya Riley yang bingung oleh perubahan mendadak itu, kelima emosi di kepalanya pun mengalami guncangan, mereka bingung harus melakukan apa. Mereka ingin membimbingnya untuk melewati masa transisi sulit tersebut.
Keputusan untuk berangkat ke sekolah baru, misalnya, membuat Joy harus berdebat dengan Disgust yang menyarankan agar gadis itu membolos saja. Tanpa pilihan baju yang layak, Riley menurutnya terancam dihina teman-teman di sekolah barunya. Fear pun punya daftar panjang ketakutan tentang yang mungkin terjadi kepada anak gadis seusianya di tempat baru. Mereka berbeda dengan Joy yang memandang segala hal dengan positif, yakin hal baik akan datang setiap saat. Terinspirasi anak sendiri Apa yang terjadi dengan Riley merupakan hal yang biasa terjadi pada setiap orang dan memang konfliknya sebenarnya biasa saja. Namun, drama besarnya justru terjadi di dalam pikirannya, dengan peran kelima emosi tadi. Jangan bayangkan isi kepala yang dipenuhi otak dan jaringan saraf, di tangan duo sutradara Pete Docter dan Ronnie Del Carmen, emosi digambarkan ada dalam pikiran manusia, bukan bagian otak. "Emosi-emosi ini seperti semacam suara yang ada di kepala kita," tukas sutradara Pete Docter.
Dalam kunjungannya ke Jakarta, Rabu (5/8), Docter mengaku putrinya sendirilah yang menginspirasinya untuk membuat animasi dengan menyelami pikiran manusia. "Ada masa ketika saya bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang terjadi pada anak saya itu. Tadinya saya sudah coba untuk mengatasinya tapi malah jadi lebih parah," ungkapnya, seraya menambahkan bahwa pertanyaan serupa biasanya juga dilontarkan orangtua lain terhadap anak mereka yang beranjak remaja.
Pixar yang terkenal karena keseriusannya meriset untuk keperluan film mereka melakukan hal yang sama pada Inside Out. Mereka mempelajari soal dunia pikiran, memori, emosi manusia, dan perkembangannya seiring usia. Demi itu, mereka bekerja sama dengan peneliti, ilmuwan, ahli saraf, psikolog, dan pakar lainnya untuk lebih memahami cara kerja pikiran manusia. (M-6)