SEPULUH daerah pesisir di Indonesia yang pernah Cheng Ho (1321-1435) singgahi telah menjadi daya tarik baru bagi destinasi wisata bahari. Kawasan laut yang penuh dengan kearifan budaya, alam, dan adat istiadat menjadikan pelawat bisa mengunjungi destinasi itu.
Meninggalkan Tiongkok dan menyusuri Selat Malaka hingga memasuki Pulau Sumatra di masa silam telah memberikan bukti autentik. Tak ayal, pemerintah pun kian menggencarkan pelayaran jalur Cheng Ho atau Zheng He sebagai destinasi utama di jalur samudra.
Bukti kuat bisa kita lihat, yaitu keberadaan patung raksasa Cheng Ho di Semarang, Jawa Tengah. Tentu saja, Semarang menjadi salah satu destinasi. Ada sembilan daerah lainnya yang menjadi jalur pelayaran Cheng Ho, meliputi Batam, Aceh, Medan, Palembang, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Cirebon, Surabaya, dan Bali.
Di Batam, misalnya, jalur pelayaran telah menjadi agenda pemerintah setempat. Hal itu dilakukan untuk mendukung Presiden Joko Widodo dan Presiden Tiongkok Xi Jinping yang telah sepakat untuk kerja sama di bidang pariwisata.
Tentu saja hal itu memberikan sebuah kontribusi besar. Tak mengherankan, Menteri Pariwisata Arief Yahya pun telah berkomitmen untuk meningkatkan jalur samudra pelayaran Cheng Ho. Hal itu sebagai magnet untuk menarik wisatawan Tiongkok. Terlepas dari sejarah yang begitu panjang, pelayaran Cheng Ho ke Indonesia, khususnya, menjadi penting. Ada hubungan bilateral di antara kedua negara tersebut.
Di masa Kekaisaran Yong Le, Dinasti Ming, Cheng Ho diutus memimpin armada Muhibah. Pelayarannya untuk mengunjungi negara-negara di seberang lautan sebagai duta perdamaian. Perjalanan Cheng Ho pun tiba pula di Nusantara, antara lain Palembang, Sambas, dan Jawa. Artinya, pada awal abad XV, Tionghoa muslim sudah ada di Nusantara. Mereka kebanyakan orang Yunnan yang hijrah ke Nusantara pada akhir abad XIV, dan sisa-sisa laskar Mongol yang menghuni wilayah Majapahit.
Lewat perjalanan samudra itulah, Arief pun mendukung pemerintah daerah untuk menjaga khazanah budaya itu. "Ini tentang perjalanan lintas negara. Indonesia bisa menjadi destinasi utama bagi wisatawan Tiongkok," ujarnya, pekan lalu.
Keberadaan Cheng Ho di Tanah Air masih terasa. Salah satunya yaitu keinginan budayawan dan seniman di Semarang untuk melangsungkan Festival Cheng Ho. Tentu saja, festival itu masih belum terlaksana. Namun, Kelenteng Sam Po Kong telah menjadi lokasi perhelatan peringatan pelayaran Cheng Ho di Tanah Jawa. Itu bisa dilihat dengan perayaan tapak tilas Cheng Ho yang baru saja dilaksanakan di kelenteng tersebut.
Tionghoa peranakan Slamet Wibowo alias Tong Yong Lon, 72, merupakan salah satu pegiat seni yang setia. Ia setiap tahunnya ikut mengarak bendera di Kelenteng Sam Po Kong sebagai bentuk untuk menggelar tapak tilas Cheng Ho.
Tentu saja, Slamet yang adanya peranakan Tionghoa-Jawa menganggap pelayaran Cheng Ho sebagai seorang 'utusan dewa'. Apalagi, bila kita menengok di lokasi Sam Po Kong, terdapat patung Cheng Ho yang menjulang tinggi.
Sejarah tentang Cheng Ho sudah Slamet dengar dari leluhurnya. Bagi kakek delapan cucu itu, peringatan tapak tilas Cheng Ho menjadi penting. Ini berguna agar anak-anak, terutama keturunan Tionghoa, tak melupakan sejarah.
"Saya sudah ikut membawa bendera dalam acara di kelenteng sejak lama. Pada 60-an, keberadaan kisah Cheng Ho sudah kami dengar. Namun, pada saat itu keberadaan etnik Tionghoa belum sebebas sekarang. Padahal, Cheng Ho datang untuk misi perdamaian," tutur Slamet.
Tahun ini genap sudah 610 tahun Cheng Ho, yang juga seorang muslim, tiba di Nusantara. Tak mengherankan, perayaan di Semarang lebih meriah jika dibandingkan dengan di Batam yang telah lebih dahulu mencetuskan jalur samudra Cheng Ho, Januari lalu.
Jhon Lim, Ketua pelaksana Tapak Tilas Cheng Ho di Semarang, menuturkan pentingnya sejarah. Apalagi, ada nilai-nilai budaya yang masih berakar kuat bagi warga Tionghoa di Semarang. "Ada budaya peranakan yang masih kuat. Contohnya, barongsai, yang hingga kini masih bisa kita tonton," tuturnya.
Keberadaan jalur pelayaran samudra Cheng Ho yang melewati 10 daerah memberikan bukti. Indonesia dapat menjadi perhatian dunia, terutama bagi masyarakat di Negeri Tiongkok. Ini membuktikan misi perdamaian Cheng Ho perlu dijaga dan dirawat.
Tujuannya ialah menjadikan kesepuluh destinasi sejarah terutama bagi masyarakat di Negeri Tiongkok. Dalam menanggapi hal itu, Menteri Arief pun optimistis dengan keberadaan destinasi baru sebagai pengikat hubungan antarnegara. "Selain memikirkan pelayaran bersejarah dan peninggalan berupa adat istiadat, 10 destinasi itu juga bisa meraup tingkat kunjungan wisatawan mancanegara," papar Arief.
Keberadaan Kelenteng Sam Po Kong sangat memberikan bukti kuat. Itu merupakan bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama Cheng Ho di sana. Tempat ini biasa disebut Gedung Batu karena bentuknya merupakan sebuah gua batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu.
Di kelenteng tersebut, masih terdapat aktivitas kesenian. Baik berupa tarian maupun sastra-religio. Keberadaan Cheng Ho dan Sam Po Kong memang tak bisa dipisahkan. Inilah yang membuat seniman dan budayawan Tionghoa di Semarang pun membulatkan tekad.
Mereka siap menyelenggarakan Festival Cheng Ho tahun depan. Tujuannya sebagai bentuk untuk mengenang kembali pendaratan Cheng Ho bersama anak buahnya di Semarang. Konon, salah satu anak buah Cheng Ho dikebumikan di dekat kelenteng tersebut. (M-2)