RUANG pameran Galeri Nasional, Jakarta, pertengahan pekan ini disesaki mahasiswa dan pelajar. Mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah yang ada di sekitar Jakarta. Kehadiran mereka ke galeri yang terletak di Gambir, Jakarta Pusat, itu bukan tanpa tujuan.
Di galeri tersebut, tengah berlangsung pameran seni rupa bertema Langkah kepalang dekolonisasi. Pameran yang dihelat pada 19-30 Agustus tersebut menampilkan seniman kontemporer. Salah satunya ialah Entang Wiharso. Selain Entang, ada pula seniman kawakan lain, di antaranya Agung Mangu Putra, Chusin Setiadikara, Putu Sutawijaya, Suraji, Heri Dono, JA Pramuhendra, Aditya Novali, Maharani Mancanegara, Win Dwi Laksono, Wiyoga Muhardanto, Made Wiguna Valasara, Abdi Setiawan, Jumaldi Alfi, Rosid, Oky Rey Montha, Ito Joyoatmojo, dan Tatang Ramadhan Bouqie.
Entang menyuguhkan karyanya yang berjudul Under National History (323 cm x 219 cm, 2015, alumunium resin, colour pigmant, and thread car paint). Sementara itu, Heri, pelukis yang baru saja mewakili Indonesia di Venice Biennale, menyajikan karya berjudul The Anger of Dutch General in 1945 (200 cm x150 cm, 2015). Karya itu menghadirkan wajah-wajah manusia yang dipreteli mirip wajah binatang. Pada salah satu objek, tampak seorang 'jenderal' tengah menjulurkan lidahnya yang panjang. Di atasnya, terdapat dua tentara tengah mengokang senjata berbendera Indonesia.
Dari karya tersebut, Heri tengah menafsirkan kemarahan seorang jenderal. Terutama, kala sang jenderal mendapati Indonesia telah merdeka. Atau, bisa saja sebagai cara Heri untuk mengkritisi penjajahan lewat karyanya.
Di bagian lainnya, Rosid, misalnya, juga menyajikan karya. Ia menyajikan instalasi berjudul Wajah-Wajah Tokoh Kemerdekaan (229 cm x 262 cm, 2015, pensil di atas kayu dan kanvas). Rosid menampilkan beberapa tokoh kemerdekaan. Namun, dua wajah yang lebih besar ketimbang tokoh lainnya. Dua gambar itu tak lain ialah Soekarno-Hatta.
Karya Rosid cukup unik. Ia menaruhnya di meja yang mirip pula seperti lemari. Selain potret wajah tokoh pendiri bangsa, ada pula buku, bendera, dan keris. Sementara itu, di bagian bawah meja, terdapat padi di tempayan yang dialas tikar. Karya itu seolah ingin menyatakan sebuah pencaharian terdapat kesejahteraan rakyat.
Begitu pula dengan Tatang. Perupa asal Jawa Barat itu menghadirkan Careless Comedy-the Colonial Fantasy (200 cm x 800 cm, 2015). Karya itu berupa tiga panel kanvas yang digabungkan menjadi satu. Ciri khas Tatang terletak pada motif badut dan tokoh super yang ia sajikan sebagai karya terbarunya kali ini.
Pameran itu memiliki hubungan penting dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 1945. Terutama, tanda-tanda perkembangan dunia yang muncul pada akhir Perang Dunia II (1939 -1945). Soekarno-Hatta membebaskan bangsa ini dari belenggu kolonial pada 17 Agustus 1945, yaitu tiga hari setelah Perang Dunia II berakhir.
Dekolonisasi Konsep Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agutus 1945 bukanlah konsep dadakan dan bukan dekolonisasi, apalagi akibat desakan Pemerintah Militer Jepang yang kalah berperang dan harus menyerahkan Indonesia kepada pasukan sekutu. Namun, itu telah melalui proses sejak awal abad ke-20 di Belanda dan Hindia Belanda.
Pada 1946, hampir semua seniman terkemuka dari berbagai penjuru berkumpul di Yogyakarta. Mereka menyaksikan upaya mempertahankan Republik antara 1946-1949. Mereka juga membuat karya-karya yang menampilkan realitas kehidupan masyarakat. Mulai perang akibat agresi militer, perjuangan laskar-laskar rakyat, hingga upaya diplomasi yang terus menerus gagal.
Kurator Jim Supangkat pun menyatakan ada sekitar 40 karya penting menjadi artefak sejarah yang sekarang dihimpun di Istana Kepresidenan. Untuk itu, pameran itu pun mencoba menampilkan karya-karya yang melihat kembali periode perjuangan 1946-1949. Itu berdasarkan kesadaran sejarah, bukan lagi representasi realitas, seperti artefak sejarah.
"Pembacaannya tidak terbatas pada perkembangan Indonesia sebagai gejala lokal. Hubungan perjuangan Indonesia, 1946-1949 ini tanda-tanda perkembangan dunia membuka peluang bagi peserta untuk melihat sejarah ini sebagai persoalan global," paparnya.
Lewat pameran yang dibuka Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, generasi muda, baik pelajar maupun mahasiswa, bisa melihat kembali sejarah. itu menjadi penting karena Indonesia merupakan negara besar dan berdaulat yang perlu kita jaga selamanya.(M-6)