PEREMPUAN berambut pirang sedang terkulai lemas. Ia hanya duduk sembari menaruh kepala ke tangan kanannya untuk menopang tubuhnya. Sehelai kain biru terbungkus di pangkalan pahanya yang kuning langsat.
Pada latar belakang, ada corak dan ornamen abstrak. Garis-garis sengaja dibuat tak beraturan. Unsur realis berupa tubuh perempuan pun berpadu jelas pada karya pelukis Syafril Cotto berjudul Kandas (akrilik di atas kanvas, 140 cm x 180 cm). Karya itu dipajang pada pameran tunggal VI Kisi-Kisi Fatamorgana di Balai Budaya, Menteng, Jakarta Pusat, awal pekan ini.
Pameran tunggal Syafril ini merupakan sebuah awal kebangkitannya sebagai pelukis. Sebab, selama 12 tahun, ia vakum berkarya lantaran kesibukan mengajar privat. Syafril baru kembali muncul pada tahun ini.
"Saya sempat mati suri karena selama 12 tahun tidak fokus berkarya. Seni memang tidak boleh setengah-setengah," ujarnya di sela-sela pameran.
Pelukis kelahiran Padang, Sumatra Barat, 5 Mei 1956, itu menghadirkan 21 karya lukis bercorak realis pada pameran tersebut. Ini menjadi cara ia membaca kehidupan. Ada benang merah dalam lukisannya, yaitu objek-objek perempuan pada semua karyanya.
Sementara itu, tema-tema yang diangkat kebanyakan kondisi sosial, semisal, Saling Membutuhkan (akrilik di atas kanvas, 150 cm x 170 cm). Pada karya ini, Syafril mengangkat tentang aktivitas pedagang dan pembeli di pasar tradisional. Sepintas memberikan gambaran perempuan-perempuan tangguh yang tetap setia memilih jadi pedagang.
Begitu pula dengan Menu Istimewa Hari Ini (akrilik di atas kanvas, 150 cm x 200 cm). Persoalan kehidupan kota begitu terasa. Di karya ini, ada seorang perempuan berbaju Minangkabau sedang membungkus makanan.
Latar belakang gedung-gedung bertingkat, perempuan karier, dan wajah potret Syafril sendiri. Dalam karya itu, seolah ada tafsir atas perjalanan tentang pengembaraannya. Termasuk, gambar seorang perempuan bersepatu hak tinggi yang sedang melepaskan pakaian dalamnya.
Bagi Syafril, dunia realis memberikan pandangan berbeda. Ia merenungkan dan mengendapkan ide untuk dituangkan lewat lukisan. Pengamatan pada kejadian sehari-hari sebagai paradoks. Dunia-dunia fantasi juga tak terlepas dari kejelian mata Syafril. Ia menghadirkan dunia rekayasa yang bisa kita temukan pada Sebatas Harapan & Angan-Angan I (150 cm x 200 cm).
Namun, karya ini tak begitu tampak realis karena ada sentuhan abstrak. Corak lukisan berbalut arsiran abstrak membuat tema tidak begitu berkorelasi. Tak ada kedalaman sehingga terkesan dangkal.
Minim kritik sosial Syafril mengaku tidak mengupas aliran tertentu. Baginya, ia hanya melukis dan menyuguhkan karya. "Biarlah orang yang menilai. Bagi saya, melukis realis atau abstrak itu bisa saya lakukan. Namun, realis ini yang membuat saya lebih memahami keadaan sesungguhnya," tuturnya singkat.
Pengamat dan Pegiat Seni Rupa, Rip V Dinar menilai Syafril, mengangkat tema sosial. Namun, itu dengan porsi yang berbeda. Apabila pada 1989 Syafril bersama Irwanto menampilkan lukisan bertema kritik sosial yang kuat, sekarang tidak lagi.
Pada era akhir 1980-an, Syafril kerap mempersoalkan problem warung di pinggir jalan. Lalu, harga-harga minuman dan makanan yang melambung. "Lukisannya yang bergaya realis (sekarang) bertolak dari peristiwa yang terjadi," nilai Rip.
Sebagai lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (Kini, Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, Syafril memang terpengaruh pada gerakan kaum sosial awalnya. Namun, seiring perjalanan waktu karya-karyanya kini lebih menampakkan unsur pop art.
Ia sudah bangkit kembali. Kehadiran Syafril lewat pameran tunggal VI ini memberikan bukti. Sebagai seniman daerah yang kini tinggal di Jakarta, ada pesan lewat karya kali ini. Baginya, persoalan kemasyarakatan tak pernah habis dibicarakan.
Ia menjadi saksi zaman karena telah menghadirkan lukisan bercorak realis. Meski perlu diakui, tidak semua karya berangkat dari kenyataan. Sebagian masih berupa fatamorgana. (M-6)