MUSEUM menjadi destinasi kesukaan Sekar Wulan Prasetya bersama suami dan kedua anaknya. Kebiasaan itu sudah diajari perempuan yang akrab disapa Tya sejak tinggal di Jepang. Alasannya sederhana, untuk menambah pengetahuan anak melalui menyaksikan langsung bagian dari sejarah. Selama dua setengah tahun melakukan kebiasaan itu membuat Raphael Narendra Adityasunu, 4,5, dan Mikhael Nararya Adityayoga, 2,5, merasa sebagai orang Jepang.
Begitu kembali ke Indonesia, Tya memantau setiap informasi melalui gawainya. Berbagai sosial media ia ikuti agar dapat perkembangan terbaru yang bisa merangsang pengetahuan kedua anaknya.
"Wah aku takjub, enggak seperti zaman aku kecil, museum itu terasa spooky (menyeramkan). Museum Nasional dan Museum BI itu sudah modern, benda-benda peninggalan sejarahnya pun sangat terawat. Anak-anaku pun enggak takut dan merasa museum di Indonesia sama dengan di Jepang," tukas Tya yang masih mencari beberapa museum ramah anak lainnya, Minggu (9/8).
Pencahayaan dan informasi sangat mendukung orangtua bercerita kepada anaknya mengenai sejarah suatu benda. Raphael dan Mikhael tampak gembira melihat benda sejarah bangsanya meski belum terlalu paham.
Tya pun mengajak mereka ke kawasan kids corner guna mengenalkan berbagai permainan tradisional, seperti congklak, gasing, puzzle wayang, dan layangan. Ia membebaskan mereka mencoba apa pun yang diinginkan dan berfoto mengenakan pakaian adat. Tidak terasa empat jam mereka habiskan di kawasan itu.
Berbeda suasananya saat ke Museum Migas dan Museum Reptil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), pasalnya kondisi pencahayaan dan kebersihannya kurang terjaga. Namun, hal itu tidak membuat Raphael dan Mikhael trauma, mereka masih menagih waktu untuk ke museum yang lain.
"Ayo kapan kita ke museum lagi, Ma?" kata Tya menirukan Raphael.
Berbeda dengan Tya, Mitra Adriyanti berupaya mengenalkan kedua anaknya kepada Tanah Air melalui perjalanan. Mulai dari Sumatra hingga Ambon. Sejak usia lima bulan, Mitra membawa Keisha Almira Putri, 5, dan Nayla Wielanda, 3, bepergian dengannya. Ia kerap mengajarkan mereka melihat perbedaan di setiap daerah, tetapi menghormati sebagai kekayaan.
Mitra sering menyisipkan sejarah-sejarah ringan tentang kerajaan yang ada di kawasan itu sebelum Indonesia merdeka. Keisha pun sempat bertanya kenapa ia harus menggunakan kerudung di Aceh. Mitra dengan antusias menjelaskan tradisi di daerah tersebut.
"Mereka saya beri kursus bahasa Inggris juga, namun tetap nggak boleh lepas dari akarnya yaitu Indonesia. Harus memiliki semangat cinta Tanah Air. Seperti bahasa di daerah timur, saya jelaskan kalau menyebut saya itu kita, jangan tertukar ya," cerita Mitra bersemangat. Saat bepergian Mitra tidak semata mengenalkan alam Indonesia, tapi juga kuliner setempat sehingga kedua anaknya tidak kesulitan makan. Memorabilia Tidak hanya pergi ke museum, belajar, dan mengabadikan momen menggunakan kamera, tetapi ia juga mengajak kedua anaknya memiliki dokumentasi yang lengkap dan rapi. Mulai tiket masuk dan foto ditempel di buku. Tujuannya sebagai kenang-kenangan pengingat kunjungan mereka ke suatu tempat.
Petugas museum juga ramah dan membantu menjelaskan kepada anak-anak. Hal itu memacu semangat Tya mencari informasi tentang museum lain untuk akhir pekan.
"Sekarang kedua anak saya sudah merasa dirinya itu Indonesia, mulai belajar kekayaan Indonesia. Dari mulai pakaian sampai permainan tradisional. Oh ini Indonesia, dan enggak kalah dari Jepang," ucapnya.
Sementara Mitra mengaku ada manfaat yang didapat oleh anaknya dari perjalanan berkeliling Indonesia. Ia jadi bisa bercerita kepada orang lain tentang kekayaan Indonesia di satu daerah dan mengidentifikasi beberapa nama daerah melalui peta Indonesia.
"Karena pengetahuan bertambah, Keisha pun kini jadi lebih percaya diri dan enggak malu lagi untuk berbincang dengan orang lain. Sebelumnya dia malu, namun saat bepergian, dia terbiasa untuk bertanya kepada pemandu," pungkas Mitra. Festival Selain berkunjung ke museum dan bepergian, orangtua bisa mengenalkan kekayaan Indonesia melalui musik, seperti Festival Nasional Musik Tradisi Remaja 2015 di Pelataran Museum Kesejarahan Jakarta, Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta. Ajang yang diselenggarakan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman dan Direktorat Jenderal Budaya kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan remaja tidak lupa akan musik tradisi dan mengembangkannya. Apalagi, musik tradisi dinilai mampu membentuk moral dan karakter generasi muda.
"Seiring dengan masuknya budaya modern di antara generasi muda Indonesia, budaya tradisional lokal Indonesia menjadi hal yang perlahan terlupakan. Melalui festival ini, kami ingin membangun kembali mengingat, meningkatkan minat, rasa memiliki, dan kebanggaan para remaja Indonesia akan budaya Nasional," sambut Kacung Marijan, Direktur Jenderal Kebudayaan, kementrian pendidikan dan Kebudayaan.
Ajang itu tidak semata memperkenalkan musik tradisi. Namun juga menggabungkannya dengan musik saat ini dan acara seni lain, sehingga bisa menarik remaja untuk mau mempelajari akar budaya dan melestarikannya. (*/M-4)