Merayakan Peradaban Matahari

MI/DZULFIKRI PUTRA MALAWI
16/8/2015 00:00
Merayakan Peradaban Matahari
(DOK. PANITIA)
BERSAMAAN dengan momentum Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-70, kegiatan Festival Nusantara di kawasan Batur, Kintamani, Bali, juga berakhir sejak diselenggarakan minggu lalu (8/8). Dalam penutupan acara itu, pengibaran dan upacara bendera akan dilakukan di atas Gunung Batur besok pagi.

Serangkaian ritual, meditasi, yoga, dan pengobatan gratis serta pertunjukkan drama, tari, dan musik dipersembahkan selama sepekan kemarin.

Untuk tahun pertama, festival itu mengangkat peradaban matahari. Menurut presiden Festival Nusantara, Ngurah Paramartha, 53, matahari divisikan sebagai Surya, sang Mahacahaya Tertinggi, sekaligus Kala, sang Waktu Abadi yang melingkupi seisi ruang semesta raya ini.

Apresiasi manusia Bali pada sang Matahari sebagai mahadaya sumber energi kehidupan menjadikan peradaban matahari di Bali sedemikian kental dalam keseharian dan menjadi visi hidup spiritual manusia Bali. Dalam tradisi Nusantara, matahari sebagai mahacahaya tertinggi juga dipahami sebagai daya energi maskulinitas, sedangkan rembulan (candra) sebagai representasi daya energi feminitas.

Karena itu, tak mengherankan bila sebagian besar pengisi acara berasal dari kaum perempuan. "Festival ini dikemas sedemikian rupa berdasarkan feminis untuk menuju peradaban rembulan tahun depan di Danau Tamblingan, Singaraja di bulan yang sama (Agustus)," terang Ngurah.

Sejumlah seniman, seperti Maya Hasan dan Ayu Laksmi & SvaraSemesta tampil dalam Surya Sewana Performing Arts di hari kedua. Sementara itu, Endah Laras dan Cok Sawitri juga tampil dalam panggung yang sama nanti malam. Lalu, pelatihan Yoga oleh Ineke Darmajanti selama tiga hari (10-12/8).

Selain itu, beragam pelatihan dan pameran kesenian serta kerajinan tangan diadakan setiap hari. Di penghujung acara esok, sejumlah penampil seperti Bona Alit (Bali), KunoKini (Jakarta), Miladomus (Jakarta), Nyanyian Dharma, dan Tebo (Bali) akan mementaskan karyanya bersama hawa dingin di kaki Gunung Batur.

Unik dan holistis
Jika kita mencari kata festival Nusantara dalam internet, beberapa negara seperti Malaysia dan Australia juga memiliki festival dengan nama yang sama. Lalu milik siapakah Nusantara itu? Kepada Media Indonesia awal pekan lalu, Ngurah memberikan penjelasannya.

Menurutnya, Nusantara itu unik, autentik, dan holistis. "Nusantara itu memang unik karena tidak ada batasnya dan holistis karena di dalamnya hidup dengan orang banyak dan berdampingan. Kami coba kabarkan Nusantara ialah alam yang berlebihan, termasuk matahari, bulan, air, dan udara di dalamnya. Karena itu, tak mengherankan bila Nusantara juga ada dipakai di banyak negara," jelasnya.

Festival Nusantara merupakan festival tahunan yang diselenggarakan Bali Life Center yang bekerja sama dengan Komunitas Gigir Manuk dan Masyarakat Adat Wingkang Ranu Batur, Bali. Festival yang juga melibatkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara itu direncanakan sebagai perayaan dan apresiasi narasi kebudayaan. Festival itu merupakan upaya mengembangkan daya apresiasi masyarakat atas kekayaan narasi lokal yang berdimensi universal.

Penyelenggara juga bermaksud mengembangkan karya-karya budaya yang membuka diri terhadap segala kemungkinan keragaman identitas dan segala manifestasi reflektif pada masa lalu yang diekspresikan pada masa kini. Festival itu juga sebagai wahana pertemuan antarkelompok dan antarkomunitas yang membuka dialog karya-karya budaya dengan publik.

Melalui dialog, diharapkan terbangun pemahaman yang mendalam di antara individu dan komunitas budaya tersebut guna memaknai kembali warisan kearifan visi tradisi Nusantara sekaligus menumbuhkan kesadaran historis. (M-6)




Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya