Maestro Sardono di Singapura

Abdillah M Marzuqi/M-2
28/8/2016 12:00
Maestro Sardono di Singapura
(DOK. SARDONO)

AWALNYA hanya seorang wanita. Ia meliuk tubuh. Berputar di atas poros kaki. Rambut panjang sepinggang. Mahkota hitam berlajur itu turut berayun dan berturut dengan alunan irama tubuh. Cukuplah masa, ia berdansa dengan semua bagiannya. Sementara ia menari, beberapa penari lain masih menunggu.

Tepat di sebelah luar arena, penari lain berbaur dengan pengunjung mengitar air mancur. Tampak berbeda, raut mereka menyanjung damai. Mereka memampatkan semua daya dalam duduk bersila.

Berselang lama, mereka pun masuk arena. Di bawah kucuran air mancur mereka berpesta. Bergerak bersama. Selaras, tetapi tak sama. Empat penari wanita berbusana putih. Dua di antaranya berpegang pada dua kanvas berukuran besar. Mereka meliuk dan kadang menekuk. Berlawan dan bertarik dengan gaya gravitasi. Dua lainnya berkelindan dengan tubuh masing-masing.

Mereka yang tanpa kanvas berulang mengibaskan rambut dengan gerak tubuhnya. Rambut panjang berbasah pewarna hitam. Ketika rambut menyentuh kanvas, warna itu tertinggal. Kanvas dengan sapuan hitam itu indah. Namun, tak lama, air mancur membuyarkan semuanya. Jejak warna hitam yang diusapkan rambut mereka meluruh seiring rembesan air.

Tak perlu berpaku pada bentuk. Bentuk bisa berubah. Justru proses itulah yang menarik.

Lama mereka menari, sampai tiga laki-laki bergabung. Mereka membawa satu kanvas berukuran dua kali lipat. Sekitar 3 jam mereka berempat menari, sebelum Sardono masuk arena. Ia mencipratkan banyak warna ke atas kanvas itu. Tak lagi melulu hitam. Warna lain pun punya ruang di atas kanvas itu.
Karya tidak berbatas usia. Usia 71 belum akhir dari segalanya. Sardono Waluyo Kusumo, sekali lagi, menjadi pertanda bahwa Indonesia punya banyak seniman besar. Kehadirannya dalam Singapore International Festival of Art menjadi bukti.

Ia seolah punya ruang istimewa dalam lajur acara yang dihelat selama hampir satu bulan, 11 Agustus-17 September 2016. Dua persembahan karya dihadirkan dalam tajuk The Sardono Retrospective di Malay Heritage Centre. Pertama Expanded Cinema yang ditampilkan selama 13-28 Agustus 2016. Kedua Live Painting pada 20-21 Agustus.

Kala itu, Sardono didukung Bank Mandiri melalui Unit Mandiri Art. Bank Mandiri ingin berperan dalam mengembangkan potensi kreativitas dan kebinekaan bangsa Indonesia di bidang seni sehingga mampu mendorong karya seni Indonesia untuk lebih dikenal di ranah internasional. "Melalui Mandiri Art kami berpartisipasi dalam proses pementasan salah satu seniman besar Indonesia ini, sebagai bagian dari upaya mengembangkan seni yang menjadi salah satu kekayaan budaya Tanah Air," kata Head of Corporate Communication of Bank Mandiri Ahmad Reza di Singapura, Minggu (21/8).

Sardono Waluyo Kusumo memang dikenal sebagai maestro seni tari. Namun, sekitar awal 1980-an, Sardono mulai berkarya melalui medium lukis.

Umur bolehlah tak lagi muda. Menua ialah keniscayaan. Namun, semangat dan karya belum boleh dikata sirna. Aksi performatif Live Painting membuktikan hal itu. Bergelut dengan lembar besar kanvas basah dikelindan air mancur. Sardono mencipta karya lewat rasa.

Bidang miring dipanjatnya. Tangan keriputnya melepas butiran cat. Sardono sempat terjatuh. Tubuhnya meluncur ke bawah. Lututnya mengantuk landasan ubin dari tatanan batu.
Ia memang sempat terpeleset. Namun, tanpa membuang jeda, tanpa menanda luka, ia menegak dadanya. Langsung, ia membangun badannya.

Sardono menciprat asa dalam tiap lelehan warna. Ia hendak menoreh rasa dan menoleh jiwa. Lewat karya, ia membawa kibar sang Dwiwarna.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya