Retrospeksi Kebangsaan dalam Semangkuk Sup Makan Siang

MI
21/8/2016 11:56
Retrospeksi Kebangsaan dalam Semangkuk Sup Makan Siang
(MI/Ardi Teristi Hardi)

PAGI telah tiba. Rutinitas kerja sehari-hari pun dimulai lagi, termasuk di sebuah rumah makan yang diisi tiga pekerja. Seperti biasa, mereka bergegas menyiapkan menu untuk makan siang, mulai dari menyiapkan, mengiris, dan mencincang bahan-bahan, memasak, hingga menghidangkan makanan tersebut ke dalam sebuah mangkuk.

Selama proses menyiapkan menu-menu tersebut, dari pukul 06.00 hingga pukul 12.00, cerita teater dengan lakon Semangkuk Sup Makan Siang atau cultuurstelsel terbangun. Percakapan yang terlontar di antara ketiga tokoh yang diperankan Whani Darmawan, Theodorus Christanto, dan Rendra Bagus Pamungkas, menggerakkan cerita. Berawal dari percakapan retrospektif tentang pengalaman ketiga tokoh, percakapan kemudian bergerak ke arah tema besar tentang cita-citakan kebangsaan.

Telah 71 tahun bangsa Indonesia merdeka. Namun, warisan-warisan negatif dari bangsa kolonial masih dipraktikkan hingga saat ini. Itulah pesan yang ditangkap dalam teater yang dipentaskan ARS Management & WhaniDP Project.

Pembahasan tentang cultuurstelsel menjadi bagian terpenting dalam percakapan di antara mereka. Program tanam paksa yang dibawa Van Den Bosch sekilas tampak wajar dan baik, tetapi jika dilihat lebih dalam ternyata telah meninggalkan hal-hal negatif bagi bangsa ini.

"Apa salahnya petani menanam kebutuhan yang dibutuhkan di pasar yang lebih besar?" tanya salah seorang tokoh.

"Pertama kali, (dengan masuknya cultuurstelsel) bangsa Hindia mengenal hubungan kerja dalam sistem produksi. Sebuah relasi antara tuan dengan hamba, majikan dengan pesuruhnya, atasan dengan bawahan. Itulah salah satu warisan di luar korupsi dan kemalasan yang ditinggalkan kolonial yang diam-diam dipuja, dipelihara di negeri ini," timpal tokoh yang lain. Dengan kata lain, cultuurstelsel telah membuat petani berada di posisi terbawah dalam rantai makanan, seperti cacing.

Mengajak berpikir
Dalam pertunjukan teater yang dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta pada 10 dan 11 Agustus 2016 tersebut, penonton diajak untuk berpikir tentang hakikat kehidupan berbangsa. Peristiwa tanam paksa menjadi titik penting untuk meretrospeksi perjalanan kehidupan berbangsa yang telah dijalani.

"Ini bercerita tentang percakapan retrospektif perihal kita sebagai bagian dari gerak perubahan menjadi Indonesia yang kita cita-citakan," kata Totok Hedi Santosa, selaku sutradara.

Percakapan yang disampaikan menjadi terasa berat karena memasukkan unsur-unsur sejarah, filsafat, dan metafora-metafora.

Dalam salah satu adegan sang tokoh mengidentifikasi persoalan-persoalan yang muncul di negeri ini disebabkan luka yang ditorehkan kolonial. Dalam cultuurstelsel, Hindia Belanda diibaratkan semacam sup lezat yang siap disantap bangsa kolonial.

Bagi Dr ST Sunardi, pengajar Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pentas teater yang berdurasi hampir dua jam tersebut ingin menunjukkan persoalan masa lalu ikut menentukan kekuasaan pada zaman sekarang.

Cerita yang ditampilkan dalam drama ini tentang kekuasaan yang telah menyembunyikan kegembiraan. Padahal, kekuasaan mestinya menjadi kegembiraan yang dirayakan bersama. "Drama ini merupakan salah satu usaha untuk menemukan cara berhubungan dengan masa lalu," pungkas dia. (Ardi Teristi Hardi/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya