Arisan Cahaya

MI
21/8/2016 08:44
Arisan Cahaya
(MI/Thalatie K Yani)

SEBULAN sekali warga desa mendatangi posyandu. Mereka bukan semata menimbang anak, melainkan juga membayar arisan. Namun, arisan itu bukan sembarang arisan, melainkan arisan untuk membeli lampu tenaga surya.

Dalam satu kelompok biasanya ada sekitar 30 orang dan masing-masing membayar Rp50 ribu. Dalam sebulan bisa 2-3 orang mendapatkan lampu yang mereka inginkan. “Semua bergantung pada kesepakatan peserta aris­an,” ujar Maria Nogo kepada Media Indonesia di Larantuka, NTT, kemarin malam.

Arisan, kata perempuan yang akrab disapa Mama Mia itu, menjadi pilihan warga untuk membeli perangkat listrik tenaga surya seharga Rp120 ribu-Rp1,55 juta dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) Kopernik. Lama pencahayaan di waktu malam hari 4-100 jam, bergantung pada tingkat penerangan.

Keinginan memiliki perangkat itu bukan tanpa dasar. Biaya yang dike­luarkan untuk listrik sekitar Rp300 ribu-Rp400 ribu. Keha­diran perangkat itu bisa memangkas separuh dari biaya yang dikeluarkan warga.

“Bisa mendapatkan uang Rp1.000 cukup sulit di desa. Jadi arisan itu untuk memudahkan mereka mendapatkan produk yang mereka ingin­kan,” ujar mantan penyuluh KB yang mengaku senang saat melihat warga desa bahagia itu. Saat mendapatkan arisan, satu warga bisa memperoleh 1-2 produk. Itu pun bergantung pada kesepakatan warga.

Berdasarkan data ESDM pada 2015, rasio elektrifikasi nasional baru mencapai 85% dengan kesenjangan yang tinggi, berkisar antara 85% di Bali dan hanya 58,7% di NTT.

Sebuah ironi di usia Indonesia yang ke-71 tahun, masih banyak daerah kesulitan mendapat listrik sebagai kebutuhan dasar. Karena itu, mereka memilih untuk mencari tenaga listrik dari pihak swasta. (Rin/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya