SAMBIL mengobrol bersama rekan-rekannya, musikus Ivan Nestorman langsung maju ke panggung di sebuah hotel di Kawasan Ancol, Jakarta Utara. Ia membawa gitar akustiknya. Ia terlihat sopan di depan penonton. Tak berapa lama, ia pun memetik gitarnya sembari melantunkan Lamalera, Putra Lautan. Unsur etnik begitu kuat. Ia tidak menggunakan bahasa Indonesia, tapi bahasa daerah penduduk di Lamalera, Nusa Tenggara Timur.
Ada keunikan memang. Meski orang-orang tak mengerti artinya, Ivan tetap percaya diri. Baginya, musik memiliki bahasa universal. Yang terpenting bisa enak didengar dan orang pun senang. "Bermusik itu semuanya dari hati. Bila main dengan hati senang dan bahagia, saya kira pendengar pun pasti ikut bahagia," tutur penyanyi asal Manggarai, Flores, itu dalam sebuah pembicaraan beberapa waktu lalu. Selain tampil bersama beberapa kelompok, Ivan terlibat dalam The Komodo Project.
Di proyek itu, ia berkolaborasi bersama musikus Gilang Ramadhan (drumer) dan Adi Dharmawan (gitaris). Mereka kerap membawakan lagu-lagu daerah. Tak diayal, keberadaan musik pulau atau musik laut telah memberikan pemahaman. Anak-anak yang berasal dari daerah kepulauan pun tetap menjaga identitas, tidak saja Ivan, tetapi juga musisi yang berasal dari Rote. Sebut saja Andreas Leka, pemain sasando.
Andreas berkarier lewat jalur indie. Ia kerap tampil di berbagai acara seremonial di Jakarta. Kebetulan, sudah delapan bulan ia berada di Ibu Kota. Ia tengah mengikuti sebuah program yang digelar pihak asing. "Saya sudah memainkan sasando sejak kecil. Saya mainkan untuk mengiringi lagu-lagu tradisional saja," tuturnya. Selama di Jakarta, lelaki asal Rote itu sering mendapatkan order untuk mengisi berbagai acara. Mulai pernikahan, acara ulang tahun, hingga tampil mengiringi musikalisasi puisi.
Andreas pernah tampil di Belanda atas undangan sebuah lembaga swadaya masyarakat asing. "Saat saya memainkan sasando di sana, orang-orang terpukau. Saya memetik dengan syahdu dan mereka pun ikut larut dalam alunan musik sasando," kisahnya.
Unsur alam Bila di NTT masih terdapat kekhasan lewat alat musik sasando yang dimainkan generasi muda, di Ambon, Maluku, pun berkembang berbagai pengusung musik tradisi di pulau-pulaunya. Salah satunya keberadaan musik hawaiian khas Ambon. Keberadaan musik hawaiian tidak saja berkembang di Pulau Ambon, tetapi juga berkembang di Pulau Haruku dan Saparua. Kawasan itu bisa ditempuh dengan moda angkutan laut selama 1 jam 20 menit dari Kota Ambon, Ibu Kota Maluku.
Di kampung Itawaka, Saparua, misalnya, ada kelompok Itawaka Hawaiian Band yang berdomisili di daerah berpantai jernih itu. Itawaka Hawaiian Band merupakan reinkarnasi dari Hawaiian Band Nollith Voice yang cukup populer di tengah masyarakat. Kelompok pimpinan Thomas Wattimena itu memiliki album terkenal, yaitu Teluk Ambon ciptaan Yola Manuputty.
"Keberadaan musik hawaiian Ambon berbeda dengan hawaiian Amerika. Hawaiian Ambon lebih lembut dan ketukan tempo yang lambat. Ini yang membuat keberadaan hawaiian di Maluku sudah ada sejak lama. Menurut cerita orang tua, sudah ada juga saat jaman Hindia Belanda," tutur Thomas. Itawaka Hawaiian Band kini beranggotakan Thomas sendiri sebagai vokalis.
Lalu, ada Piter Sopacua (gitaris), Ferdinand Matulessi (basis), Daud Matulessi (vokal), Spempri Sopacua (pemain ukulele), Yandry Sopacua (hawaiian), Wempy Sahetapy (ukulele), dan Albertus Watimena (pongo, gendang). Setiap hari, mereka berlatih di sanggar yang juga tak jauh dari rumah Thomas. Maklum, tidak adanya tempat khusus berkumpul membuat mereka pun menggunakan fasilitas seadanya.
Meski demikian, Itawaka Hawaiian Band telah menancapkan nama mereka di tingkat provinsi sebagai juara utama lomba hawaiian pada 2011 dan 2013. Sebagian musikus bekerja sebagai petani dan nelayan. Bagi mereka, musik selalu bisa dimainkan kapan saja. "Lomba-lomba yang digelar di sini sebagai bentuk untuk bisa ikut melestarikan budaya. Lagu-lagu semuanya dalam bahasa Ambon. Itu membuat peserta lebih merasakan cinta daerah," timpal Piter. Di Itawaka, regenerasi berjalan. Namun, biasanya hanya berlangsung baik di antara keluarga musikus sendiri.
Thomas, misalnya, menurunkan bakat bermusik kepada anak laki-lakinya, Albertus. Bagi Thomas, musik itu sebagai penyemangat hidup. "Setiap hari kami bermusik dan bernyanyi. Lagu-lagu pun saya buat berdasarkan perasaan atas alam dan berkat Tuhan," jelas lelaki kelahiran 22 Februari 1951 itu. Menelusuri keberadaan grup hawaiian di Pulau Saparua memang sangat terbatas. Setiap desa hanya memiliki satu kelompok.
Minimnya pendanaan membuat para musikus pun hanya mempersiapkan diri saat mengikuti lomba atau undangan. Keterlibatan pemerintah pun masih minim. Thomas sangat merasakan kekurangan itu. Ia pun berharap pencetusan Ambon sebagai Kota Musik bisa memberikan dampak bagi pulau-pulau yang ada di sekitarnya, termasuk Saparua dan Haruku yang masuk dalam jajaran kepulauan Lease. Udara di Pantai Itawaka sudah mulai dingin. Senja mulai turun perlahan. Sayang, matahari tak tampak karena hujan mengguyur kawasan tersebut.
Setelah 20 menit hujan berlalu, Thomas dan rekan-rekannya menuju ke dermaga kecil. Di sana, mereka pun memainkan lagu-lagu bercorak hawaiian. Udara berhembus sepoi-sepoi dan gelombang air laut mulai pasang. Suasana santai terasa di dada. Apalagi, tidak ada kebisingan lalu lintas. Thomas pun gesit menyanyikan Donci Babunyi dan Teluk Ambon. Suaranya begitu melengking.
Bunyi alunan gitar steel hawaiian pun kian melengkapi pertemuan saya dan Itawaka Hawaiian Band, sore itu. Saat Thomas selesai menyanyikan dua lagu itu, kami pun harus berpisah. Mereka memang tinggal di dusun dan sangat jauh dari Ibu Kota. Namun, itu tidak membuat mereka tertinggal untuk urusan olah suara.