HARI belum begitu terang. Embusan angin pun masih terasa dingin. Noce Laihittu, 49, tampak sigap menyiapkan senter, umpan, dan jala. Ia harus bergegas ke tengah laut untuk mencari ikan sebagai bekal jualan di pasar.
"Masih angin timur sehingga malam pun terasa dingin sekali. Beta tiap pagi buta selalu cari ikan," ujarnya saat mendorong kapal kayu bermesin ke bibir pantai di Desa Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, awal pekan ini.
Laihittu merupakan salah satu nelayan yang selalu melakukan aktivitas mengais ikan. Baginya, pekerjaan itu sangat mulia. Apalagi, ia merupakan penduduk setempat yang selalu ikut menjaga habitat dan lingkungan laut agar tak rusak.
"Katong boleh ambe (kita boleh ambil) ikan, tapi ada larangan adat berupa sasi yang selalu warga patuhi. Kalau seng (tidak) patuh bisa calaka (celaka)," paparnya dengan dialek khas bahasa Ambon.
Memang, tidak semua isi laut boleh warga ambil. Ada beberapa larangan yang bertujuan melestarikan lingkungan. Masyarakat menyebut larangan itu dengan istilah sasi.
Sasi sudah menjadi bagian budaya sehari-hari. Sasi merupakan tradisi masyarakat di Maluku untuk menjaga hasil-hasil potensi tertentu, baik di laut maupun darat. Bila sasi sudah dikumandangkan, masyarakat dilarang mengambil hasil laut dan darat selama jangka waktu yang ditetapkan pemangku adat.
Nilai-nilai sasi itulah yang membuat alam pun terjaga. Peran sasi jelas membuat sumber daya alam terus-menerus tumbuh dan berkembang. "Upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan nabati sudah warga warisi dari para leluhur sejak berabad-abad silam," jelas Laihittu.
Berdasarkan penuturan warga, sasi merupakan komitmen bersama dari tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Hal itu berdasarkan kesadaran bersama warga. Tanpa lingkungan, mereka tak bisa hidup laik. Adanya sasi pun berguna bagi generasi-generasi mendatang.
Sasi masih terdapat di negeri-negeri (desa-desa) yang meliputi tiga kecamatan, yaitu Saparua, Haruku, dan Nusa Laut. Tiga pulau itu kerap masyarakat sebut sebagai Kepulauan Lease.
Dari Ambon menuju ke Haria, kita bisa tempuh dengan perjalanan menggunakan kapal penyeberangan reguler, yaitu satu kali sehari. Namun, bisa juga dengan menggunakan kapal speed boat dengan biaya sewa antara Rp250 ribu dan Rp400 ribu. Menjaga alam Keberadaan Kepulauan Lease sebagai daerah rempah-rempah sudah didatangi bangsa Portugis dan Belanda pada masa silam. Kini, masyarakat yang berada di daerah kepulauan itu pun masih menjaga kelestarian alam. Itu mereka lakukan agar bisa ikut melestarikan lingkungan.
Pelaksanaan sasi di laut menjadi ciri khas karena pada bulan-bulan tertentu, warga dilarang untuk menangkap ikan. Pemangku adat melakukan itu apabila hasil tangkapan di laut sudah berkurang dan dinilai perlu dijaga.
"Sasi itu sifatnya sementara. Dilakukan pada bulan-bulan tertentu. Tahun ini pernah dilakukan pada Februari lalu. Sasi dilakukan pemangku negeri (pemerintah kecamatan). Sasi laut dilakukan agar tangkapan ikan di hari-hari berikutnya melimpah," jelas L Kainama, tokoh masyarakat setempat.
Prosesi sasi laut ialah larangan mengambil teripang, bia lola, mutiara, dan ikan. Bila di daratan, yaitu larangan untuk mengambil kayu, rotan, umbi-umbian, dan kelapa. Sasi semacam larangan adat. Bila warga melanggarnya, mereka akan terkena sanksi (denda).
Di masa lalu, sanksi-sanksi atas pelanggaran adat sasi dilaksanakan penguasa negeri dan arwah leluhur. Sanksi yang paling berat dan sangat ditakuti ialah sanksi yang diberikan arwah leluhur. Untuk itulah, warga sangat takut melanggar sasi.
Pada masa lalu, raja dan perangkat negeri yang biasanya memberi hukuman bagi si pelanggar. Si pelanggar ditangkap, dipertontokan di muka umum, dan mendapat hukuman cambuk. Tidak hanya itu, si pelanggar harus membayar denda, kerja paksa, dan dikucilkan dari tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Begitu pula sanksi arwah leluhur yang paling warga takuti. Saksi itu ada dalam kepercayaan masyarakat adat, yaitu hukuman yang diberikan arwah atau ruh-ruh tete nene moyang (leluhur). Dampak bagi pelanggar ialah anak sakit-sakitan dan akhirnya bisa meninggal dunia sehingga keluarga pelanggar tidak memiliki seorang keturunan pun. Istilah lokal ialah tutup mataruma.
Keberadaan sasi di era sekarang memang sudah mulai luntur di beberapa tempat di Haria. Namun, masih bisa kita temukan di desa-desa lain yang ada di Saparua. Sebagai masyarakat adat, warga selalu menggelar sasi karena menjadi warisan adiluhung dari para leluhur.
Ada dua upacara penting pada prosesi sasi itu, yaitu upacara tutup sasi dan buka sasi. Sebelum pelaksanaan upacara buka sasi, biasanya 1 atau 2 hari menjelang upacara, telah ada pemberitahuan yang dilakukan kepala kewang (polisi hutan).
Begitu pula dengan upacara tutup sasi. Kewang akan mengumumkan tidak ada larangan lagi. Warga pun bisa kembali mengambil hasil bumi secara bebas sebagaimana aktivitas sehari-hari.
Lewat sasi, ada nilai-nilai kultur yang bisa mendukung kelestarian lingkungan. Warga percaya lingkungan harus dijaga demi anak cucu. Biar kelak bisa ikut juga menikmati hasil alam di Kepulauan Lease. (M-2)