KEINDAHAN Pantai Kuta, Bali atau Senggigi, Lombok, tak lagi menarik minat bagi Ernita Sari. Perempuan pecinta alam yang baru saja berhenti dari pekerjaannya di sebuah lembaga keuangan ini mengaku tempat-tempat semacam itu bukanlah destinasi wisata pilihannya untuk berlibur. "Sudah terlalu ramai dan sumpek," ujarnya.
Perempuan yang juga anggota pecinta alam saat mahasiswi ini, lebih senang mengunjungi tempat-tempat yang belum terjamah wisatawan, seperti di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi. Dia bahkan pernah mengunjungi salah satu hidden paradise di Kalimantan Selatan, yakni Air Terjun Panayar, seorang diri. Wisata alam ini pantas dijuluki demikian karena keindahannya yang jarang terjamah karena sulitnya menuju ke lokasi. Air Terjun ini terletak di Desa Artain, Kecamatan Aranio. Dari Kota Martapura jaraknya lebih kurang 30 kilometer. "Gonta-ganti transportasinya, mulai dari mobil, kapal kelotok, lalu lanjut lagi menyusuri jalan setapak selama empat jam," kata Nita, tertawa.
Hal yang sama juga dilakukan Murni Amalia Ridha. Mahasiswi jurusan biologi di sebuah universitas negeri ternama ini harus menyeruak ke dalam hutan dan menyusuri sungai yang dilingkupi pepohonan lebat untuk menginap di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat. "Mana masuk ke hutan itu belum ada jalur, pemandu gue baca jalur itu hanya dari jejak babi. Begitu pun saat menyeberang dengan kelotok, dia paham mana yang dangkal dan dalam. Keren," ujar perempuan yang biasa dipanggil Mumun ini menuturkan pengalamannya.
Dari perjalanan ini, dia bukan sekadar menikmati pemandangan yang menakjubkan, melainkan juga ragam pengetahuan yang tidak didapatkan di bangku kuliah.
Itu pula yang mendorong Uter Widodo 'menggelandang' mengunjungi berbagai pelosok di Tanah Air. Awalnya, dia pun merasa jenuh ketika beberapa destinasi wisata sudah disesaki wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Ceceran sampah juga membuat dia merasa tak nyaman dan ingin tahu tempat-tempat lain yang indah dan masih alami.
Menyusuri tempat-tempat baru ini tidak ia lakukan sendiri. Biasanya, kata Uter, ia selalu pergi dengan dua orang temannya. Dia kerap menerima informasi dari teman-teman di wilayah yang ingin dikunjunginya. Begitu dapat informasi, Uter dan kedua temannya langsung melakukan survei melalui media daring, melakukan pemetaan wilayah yang akan dituju, dan terakhir menyiapkan perbekalan logistik serta akomodasi.
Lok Sado, Kalimantan Selatan dan Desa Banjarsari, Pulau Enggano, Bengkulu, menjadi salah contoh kawasan yang pernah disambangi Uter dan kawan-kawan dengan penuh perjuangan. Untuk mencapainya, hanya tersedia jalan setapak yang bisa ditempuh selama 3-5 jam. Struktur jalannya pun masih berbatu dan belum diaspal.
"Lok Sado kini sudah menjadi kawasan wisata budaya, suku Dayak Meratus, tersedia sarana untuk susur sungai dengan rakit bambu dari hulu ke hilir. Biasanya ramai pada akhir pekan, atau saat ada upacara adat," kata pria yang juga kuliah di jurusan biologi ini.
Banjarsari, kata Uter, hingga kini belum jadi kawasan wisata, karena terkendala transportasi dan waktu tempuh. Untuk mencapai desa itu dari Bengkulu memakan waktu 10 jam dengan kapal laut. Lalu, dari pelabuhan masih harus naik ojek untuk mencapai lokasi. Padahal, kata dia, kawasan ini sebenarnya sangat bagus untuk ekowisata, diving, dan treking lintas alam.
Menurut Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Dadang Rizki Ratman pemerintah pada dasarnya selalu mendukung upaya yang dilakukan oleh para traveller dan petualang yang gemar menemukan surga wisata baru.
"Namun, Kemenparekraf tentu tidak bisa langsung begitu saja menjadikan suatu wilayah atau daerah yang ditemukan itu sebagai tempat destinasi wisata baru," ujar Dadang, kepada Media Indonesia, Jumat (31/7).
Menurut dia, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk bisa menjadikan suatu daerah baru sebagai objek pariwisata seperti tahapan perintisan, pengembangan, pemantapan, dan revitalisasi.
Dari tahapan itu, ada pula enam komponen yang harus terlebih dahulu dipenuhi, di antaranya ialah permasalahan tata ruang. Selain itu, harus ada komponen daya tarik yang khas sehingga bisa menjadi magnet bagi wisatawan untuk berkunjung.
Hal lain yang tidak kalah penting ialah mengenai aksesibilitas. Menurut Dadang, meski suatu daerah tersebut memiliki pemandangan yang sangat baik, percuma jika infrastrukturnya tidak menunjang. "Jika lokasinya sulit dijangkau, tentu sangat sulit menjadikan daerah itu menjadi destinasi wisata," ujarnya. Kearifan lokal Uter dan sebagian anak muda lainnya pergi menggendong ransel menyusuri setiap pelosok di negeri ini, bukan hanya untuk menikmati pemandangan alam semata. Lebih dari itu, mereka berupaya untuk menjalin percakapan intim dengan warga sekitar. Perjalanan yang membutuhkan waktu tempuh panjang, diyakini Mumun memberikan manfaat tersendiri. Ia menjadi lebih kenal dengan masyarakat sekitar yang menjadi pemandunya, belajar banyak hal, dan tahu betapa pintarnya mereka membaca alam dengan kemampuan yang tidak dipelajari di lembaga formal.
Pun dengan Ardha yang takjub dengan kemampuan pemandunya yang menjadikan tanah dengan banyak pijakan sebagai jalur aman. Menurut pria yang kini mengelola bisnis perjalanan ini, dari pengalamannya berinteraksi dengan warga di tempat yang pernah dia kunjungi, kadang ada yang ingin daerah mereka dijadikan kawasan wisata yang ramai dikunjungi pelancong, tapi di sisi lain ada juga yang merasa cukup dengan jumlah wisatawan seadanya. "Mereka mungkin takut, jika dibuka dengan pembenahan akses jalan, alam kawasan ini menjadi rusak dan penuh sampah," ujarnya.
Kearifan lokal semacam ini juga media temui ketika berkunjung Dusun Senamat Ulu, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi, beberapa waktu lalu. Di desa itu ada salah satu bagian dari sisi Sungai Senamat Ulu yang tak boleh diganggu oleh masyarakat. Tempat tersebut menjadi habitat hidup ikan sema. Masyarakat hanya diperbolehkan memberi makan saja. Menurut Datuk Rio (Kepala Dusun) Senamat Ulu, Zainulin, ikan-ikan tersebut baru boleh diambil kalau sudah waktunya, seperti saat Idul Fitri. Warga di desa-desa terpencil itu masih mematuhi dan menerapkan kearifan lokal semacam ini. Entah sampai kapan? (rio/M-6)