Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
TIGA sosok berdiam, tetap berdiam dengan posisi duduk membelakangi penonton. Sampai saat lampu dihidupkan, mereka masih berteguh di posisi itu. Tiba-tiba seorang pria terkaget berdiri. Bunyi telepon genggam membuyarkan duduknya, sekaligus menjadi mula dari dialog antarpemain. Itulah secuplik pembuka dari pentas berjudul Visa di Teater Salihara Jakarta pada 29-30 Juli 2016. Pentas ini dilakonkan Teater Satu asal Bandar Lampung berpadu dengan Kelas Akting Salihara.
Visa sebelumnya pernah dipentaskan Teater Lungid (Solo) pada 2009 dan oleh Teater Satu (Bandar Lampung) pada 2012. Pada pertunjukan kali ini ada sejumlah perubahan yang tidak mengubah narasi utamanya. Perubahan terbesar Visa kali ini terletak pada tata panggung dan cahaya yang memasukkan animasi dan seni video sebagai bagian dari pementasan. Selain itu juga ditambahkan beberapa kostum dan karakter. Hal ini disengaja untuk lebih merespons isu terkini. “Karena ada banyak fenomena yang berubah yaitu isu-isu tentang Amerika,” terang sutradara Iswadi Pratama.
Sebuah parodi
Lakon Visa pada dasarnya sebuah parodi. Sifat jenaka, puitis, kontemplatif, dan ironis bergantian antara permainan dan renungan. Sekira 1 jam 20 menit, lakon itu memaparkan hasrat dan kecemasan dan tekad sejumlah orang Indonesia untuk pergi ke Amerika Serikat (AS). Tentunya mereka harus mendapat visa. Mereka ingin mengajukan visa ke Amerika dengan tujuan yang beragam.
Dalam proses mendapatkan visa ke Amerika, ternyata mereka harus melalui prosedur birokrasi yang ketat. Mulai pertanyaan silsilah keluarga, nama keluarga, tujuan bepergian, hingga riwayat hidup. Iswadi Pratama ingin menggambarkan kecemasan, tekad, dan hasrat sejumlah orang Indonesia untuk pergi ke negara adidaya tersebut. Sentilan dialog-dialog sederhana yang memunculkan perenungan tentang mengapa Amerika, negeri di seberang laut yang mengundang lelucon tersendiri dengan paranoia dan egosentrismenya. Adegan berlangsung di depan loket Konsulat AS di sebuah kota imajiner.
Namun, ada yang lebih menarik daripada soal tujuan, yakni saat pelamar menjalani proses wawancara. Ketika itu, pelamar visa mencoba meninjau kembali identitas diri mereka. Masing-masing pemain punya sepotong cerita yang intim, lucu, tragis dan tak pasti. Adegan-adegan beruntun membahas identitas, persoalan yang seringkali dipakai sebagai senjata, tentang seorang gagap yang lahir di Bedugul Bali, sebuah tempat yang menjadi saksi kejadian pada 1965, tentang seorang pria keturunan Tiongkok, tentang seorang perempuan yang punya suami dengan nama berbau arab, bahkan tentang perempuan berhijab yang seolah terlempar dari kumpulan.
Visa seolah mengajak penonton untuk berselancar di dunia imajiner. Bukan hanya mengajak, melainkan menyeret masuk untuk menikmati ketokohan masing-masing pemain. Sedikit obrolan pemantik akan selalu hangat mengantar petualangan baru dengan terhadap banyak isu. Interpretasi mungkin bersifat individu. Namun itulah yang menjadikan pengalaman mereka berbeda. Pentas Visa dengan cerdas memanfaatkan itu. Masing-masing mata mungkin berbeda pandang. Apa pun itu, pesan mendalam telah disematkan di dalamnya. (Abdillah M Marzuqi/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved