Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
AWALNYA dua gajah itu seperti siap bertarung dan saling menanduk, tetapi sejurus kemudian mereka saling mengelus wajah dengan belalai.
Aksi di Rabu (27/7) pagi itu hampir pasti sekadar keisengan saja karena keduanya merupakan gajah jinak anggota Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh.
Unit yang berlokasi lebih dari 100 km dari Banda Aceh itu memiliki dua gajah jantan lainnya.
Keberadaan CRU Sampoiniet berkaitan erat dengan konflik gajah liar dan manusia di kawasan tersebut.
Sejak CRU didirikan pada 2009 hingga pertengahan 2013, konflik gajah dan manusia telah menyebabkan 2 warga meninggal, 9 individu gajah mati, serta ribuan hektare kebun rusak parah.
Karena itu, keberadaan CRU bukan hanya untuk melindungi manusia, melainkan juga gajah sumatra (Elephas maximus)yang memang dilindungi menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Leader CRU Sampoiniet, Samsul Rizal, mengatakan keempat gajah jinak itu menjadi 'polisi' bagi gajah-gajah liar yang sering bertandang masuk ke permukiman warga.
Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh memperkirakan jumlah gajah di wilayah itu tersisa 500 sampai 530 individu.
Jumlah itu diperkirakan seperempat dari populasi gajah sumatra di Indonesia yang diperkirakan masih bertahan antara 2.400 dan 2.800 individu.
Dalam patroli, gajah didampingi 16 ranger/mahot secara bergantian. "Patroli yang dilakukan mahot dan gajah di kawasan hutan itu sangat penting karena kawasan hutan itu juga menjadi sumber air utama dan tempat tinggal sejumlah endemis penyeimbang alam di Aceh Jaya," tambah Samsul kepada Media Indonesia.
Mereka memulai aktivitas sejak pukul 08.30 hingga pukul 18.00 WIB.
Selain melakukan patrol seminggu sekali, mahot memiliki kegiatan rutin, antara lain memeriksa kesehatan lalu memijat, melatih gerakan atraksi, memandikannya ke sungai, dan mengajak makan gajah-gajah itu.
Meski patroli penuh risiko karena menembus hutan belantara hingga berhadapan dengan gajah liar, mahot dan gajah pun sering bertemu dengan pembalak liar atau pemburu ilegal yang memakai senjata tajam dan api.
Kadang kala mereka bertindak agresif tetapi tim patroli hanya bisa memberi peringatan tanpa melakukan tindakan.
Aktivis lembaga Fauna Flora Internasional (FFI) Indonesia dan bekas koordinator CRU Sampoiniet, Fendra, mengungkapkan konflik gajah dan manusia sering dipicu perilaku masyarakat sendiri.
"Pola dan prilaku masyarakat setempat dalam bertani sangat memicu turunnya gajah ke permukiman warga. Mereka membuka kebun semakin dalam ke arah hutan dan tidak terkontrol sehingga konflik manusia dan gajah tidak terbendung. Hal ini telah lama terjadi sejak 1998," kata dia.
Aceh Jaya merupakan kabupaten paling tinggi terjadi konflik manusia dan gajah.
Hal itu disebabkan topografi antara daratan rendah dan pergunungan berdekatan.
"Daerah-daerah hidupnya gajah itu semakin sempit karena gajah tidak hidup di hutan-hutan lebat. Gajah hidup di hutan-hutan dataran rendah sehingga konflik di kawasan itu tidak terhindarkan," tambah Fendra.
Suaka alam
Untuk mencegah makin terancamnya keberadaan gajah, BKSDA Aceh berencana menciptakan suaka alam (sanctuary).
Satwa gajah kawasan itu akan dilokalisasi di habitatnya dalam kawasan perlindungan yang dikelola pengamanan lintasan dan menjadi pintu keluar masuk satwa gajah liar dari hutan ke kawasan budi daya.
"Selain itu, beberapa individu gajah liar akan dipasangi kalung GPS collar untuk memonitor pergerakan kelompok gajah liar. Petugas CRU juga dilengkapi dengan gajah jinak untuk patroli guna merevitalisasi kearifan budaya, lalu dilengkapi pula dengan budi daya lebah madu karena diyakini dihindari gajah," kata Kepala BKSDA Aceh Genman Suhefti Hasibuan.
Media Indonesia juga sempat mengikuti sejumlah kegiatan harian para mahot di CRU Sampoiniet, mulai memeriksa kesehatan gajah hingga turun ke sungai untuk memandikan gajah.
Kegiatan seperti itu juga terbuka bagi masyarakat umum karena CRU Sampoiniet telah menjadi kawasan ekowisata, edukasi, dan pusat penelitian.
Di sisi lain, CRU menjadi contoh bahwa upaya konservasi bisa bersanding dengan wisata.
Achmad Ariska, 27, Salah seorang warga Banda Aceh, mengatakan kerap mengujungi CRU Sampoiniet guna belajar segala hal terkait dengan satwa mamalia tersebut.
Bahkan, seiring dengan meningkatnya pemahaman konservasi terhadap hewan gajah, keberadaan CRU kian diminati.
"Selain belajar langsung di alamnya, saya bisa melihat kehidupan gajah di sini. Tadi juga sempat naik gajah dan ikut memandikan gajah. Pengalaman yang berbeda saya dapatkan di CRU Sampoiniet. Mahot juga mengajarkan cara berinteraksi dengan gajah," kata dia.
Meski demikian, Achmad mengaku CRU Sampoiniet belum layak menjadi kawasan ekowisata karena sejumlah fasilitas pendukung belum tersedia.
Bahkan, akses jalan ke kawasan CRU juga masih jelek.
"Akses jalan belum bagus, promosi wisata juga belum ada. Saya saja taunyanya dari teman dan foto melalui media sosial. SDM-nya juga harus ditingkatkan, baik kemampuan operator maupun berbahasa asing," tukasnya. (FD/M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved