Drama Musikal Mencari Rimba

(Abdillah M Marzuqi/M-2)
24/7/2016 00:50
Drama Musikal Mencari Rimba
(MI/ABDILLAH M MARZUQI)

Bokura wa chikyuu no kodomotachi
Bokura wa chikyuu no mirai
Sore wo bokura wa wasurenai
Shiawase na mirai no tameni

BEGITU lagu penutup yang dinyanyikan serentak di atas panggung sesaat sebelum pentas drama musikal Mencari Rimba berakhir, lalu para ­pemeran menghormat kepada penonton. Meski potongan bait lagu itu dalam bahasa Jepang, bukan berarti pentas itu dilakonkan anak-anak Jepang. Justru semua pemainnya berasal dari Indonesia. Lagu Nyanyian Masa Depan punya bagian utuh dalam bentuk tiga bahasa, yakni Indonesia, Inggris, dan Jepang. Malam itu, pentas Mencari Rimba dihelat di Gedung Kesenian Jakarta pada 20 Juli 2016.

Pentas itu adalah pentas uji coba sekaligus mohon doa restu dari Akademi Pentas Mahakarya. Sebab lakon Mencari Rimba bakal berturut dalam The World Festival Of Childrens Performing Arts pada 29 Juli-4 Agustus 2016 di Toyama, Jepang. Sebelumnya, lakon ini telah lolos seleksi International Amateur Theatre Association (IATA).
Pentas tersebut merefleksikan kritik terhadap hancurnya ekosistem hutan karena hasrat serakah pebisnis. Pentas berdurasi sekitar 40 menit ini berlangsung dengan kemasan sederhana. Meski tidak terdapat dramaturgi berbelit dan dialog yang rumit, pentas ini cukup mampu menyampaikan pesan nyata tentang lingkungan.

Peduli lingkungan
Pentas ini sengaja membawakan isu lingkungan sebab tema tersebut harus ditanamkan kepada anak-anak sedunia secara lebih dini agar anak-anak lebih peduli dan memiliki rasa cinta terhadap kelestarian alam. Ternyata, kesederhanaan ini pula yang dituju Isdaryanto Boedi Utomo, sutradara pementasan. Sederhana tapi tetap mengena, demikian konsep yang dipakainya kala menggarap drama musikal itu. Teater anak-anak menurutnya berbeda dengan teater dewasa. Teater anak-anak harus ­cepat dimengerti. “Saya menonjolkan sisi kasih sayang Rimba terhadap ­hewan-hewan yang terluka,”katanya.

Lakon ini bercerita tentang seorang remaja buta yang hidup di pinggiran hutan. Suatu ketika, Rimba, demikian nama remaja itu, tengah asyik bermain seruling. Tiba-tiba ia mendengar sayup-sayup suara erangan kesakitan berbagai macam binatang. Ia kemudian mengikuti suara-suara itu dan masuk ke hutan. Semakin masuk ke hutan, Rimba bertemu dengan beraneka macan satwa yang kelaparan dan hewan-­hewan yang cacat. Gajah yang hilang ga­dingnya, rusa yang patah tanduknya, anak orang utan yang kehilangan orangtuanya.

Satwa tetaplah binatang. Ada kelompok binatang yang ingin memakan Rimba karena berhari-hari tak makan. Beruntungnya, ada pula kelompok binatang yang ingin melindungi rimba karena dianggap tak berbahaya. Pada akhir adegan, Rimba meng­ajak kita agar selalu merawat tumbuhan-tumbuhan dan pepohonan. Pohon-pohon juga makhluk Tuhan. Mereka berhak hidup bersama manusia. Pertunjukan ini menekankan dunia fabel, dunia satwa yang bisa berbicara. Kisah fabel bukan hal baru dalam khazanah cerita tradisional. Pertunjukan Mencari Rimba dibawakan anak-anak dan remaja sebanyak 11 orang. Mereka di antaranya memerankan double casting, sebagai satwa dan penduduk.

Tampaknya sutradara berhasil ­sebab pementasan itu tidak kehilangan alur dan fokus. Selain itu, pementasan juga tidak terlalu bertele-tele. Alur sederhana dan durasi singkat. Hal itu menjadi poin penting dalam keefektifan penyampai­an pesan. Meskipun pertunjukan itu disajikan dalam bahasa Indonesia, tetap mudah dimengerti. Ini disebabkan pertunjukan banyak menggunakan topeng-topeng agar secara visual komunikatif. Banyak sisipan gerak tari yang menghias setiap adegan yang membuat pentas ini tetap segar, tidak membosankan. Selain itu, ada dukungan dari video mapping yang memberi bentuk pada setiap babak. Kasih sayang tak hanya untuk manusia. Kasih sayang untuk seluruh jagat raya. Begitu pesan pentas ini untuk anak-anak di seluruh dunia. (Abdillah M Marzuqi/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya