Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
TENTU ada alasan di balik pemilihan Curtain Fall menjadi judul utama pameran. Begitu pun Menjadi Renta & Silam dipilih untuk mengikut sesudahnya. Kalimat itu boleh jadi menjadi semacam nuansa seram dan gelap. Gabungan dua kalimat itu seolah menjadi penanda sebuah pertunjukan dalam drama kehidupan. Begitu pun koper-koper yang diolah sedemikian rupa. Banyak bentuk yang dihasilkan sesudahnya. Tentu tanpa mengesankan objek dasar ialah sebuah koper tua. Tentu ada cerita di balik bentuk baru koper itu. Setidaknya dua pesan itulah yang menyeruak ketika kita menengok karya perupa Hardiman Radjab. Ia menjadi pemamer tunggal dalam helatan bertajuk Curtain Fall; Menjadi Renta & Silam di Galeri Cipta II pada 13-25 Juli 2016 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Pada pameran itu, Hardiman memamerkan karya dalam kurun 10 tahun terakhir. Tak kurang dari 30 karya dipajang, yang terdiri dari 11 karya baru dan beberapa karya lama, instalasi, dan video. Curtain Fall biasa didapati setelah babak akhir selesai dalam dunia pertunjukan. Prosesi itu berarti semacam ucapan terima kasih dan penghormatan kepada penonton yang telah memberikan apresiasi selama pertunjukan berlangsung. Menurut Hardiman, awalnya, ia menganggap istilah itu hanya salah satu prosesi biasa dalam dunia pertunjukan. Bahkan, sejak awal kariernya di dunia pertunjukan (sekitar 1988), istilah itu masih biasa saja terdengar di telinganya, belum mampu menimbulkan semacam greget dalam dirinya.
Ia mulai terusik dengan istilah Curtain Fall pada sekitar 2004/2005. Kala itu, ia membaca majalah Rolling Stones. Di dalamnya ia membaca tulisan tentang Eminem. Rapper asal Amerika itu berpamit undur diri dari dunia showbiz sekaligus meluncurkan album terakhir berjudul Curtain Fall. “Sejak saat itu, istilah Curtain Fall makin mengusik sampai sekarang dan menimbulkan renungan yang makin dalam,” kenang Hardiman. Pada akhirnya, hasil renungan Hardiman mewujud dalam pamer karya. Istilah itu, tak ketinggalan, juga menjadi semacam bingkai dari hasil perenungan dalamnya. “Istilah tersebut saya pakai juga sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat yang telah memberikan apresiasi terhadap karya-karya saya selama ini,” lanjutnya.
Mengakrabi koper
Hardiman tetaplah Hardiman. Ia masih akrab dengan koper. Lelaki itu lekat dengan benda kotak yang akrab dengan orang bepergian. Seniman itu terus menapaki jalan kesenimanannya. Ia tetap bertegar dan berkukuh dengan materi koper. “Materi koper ternyata masih memesona saya selama 15 tahun terakhir. Simbol perpindahan antarruang dan antarwaktu masih tetap melekat dalam sosok koper tua dan sampai saat ini saya masih bergairah mengolahnya,” terang Hardiman. Hardiman sempat bercerita tentang mula ketertarikannya terhadap objek koper tua. Kala itu, Hardiman melakukan perjalanan ke Prancis. Di sana, ia melihat monumen koper.
Berbincang tentang karya Hardiman, ada beberapa karya yang menjadi visualisasi dari tajuk yang dipilih. Di sudut ruang pamer, ada koper tua yang diletakkan di atas meja. Koper tersebut bergerak naik turun, berdenyut mirip jantung. Koper itu dikaitkan dengan beberapa selang yang berujung pada plastik yang berisi cairan invus. Ada pula selang lain yang merujuk pada tabung oksigen di bawah meja. Karya itu berjudul Ready... dengan keterangan tambahan ‘manusia adalah makhluk mulia yang tidak punya hak mati secara alamiah.
Ada pula karya menyentil berjudul Not Yet.... Koper itu digantung dengan jarak dari alas berupa rumput sintesis. Koper itu bertuliskan HARDIMAN RADJAB dengan huruf balok. Sebaris di bawahnya ada angka 1960-. Itu seolah mengesankan nisan yang ada di pekuburan yang hijau yang diselimuti rumputan hijau. Itulah mengapa ada subjudul yang memperjelas, yakni Menjadi Renta & Silam. Ada hubungannya dengan hari jadi ke-56. Hardiman lahir pada 13 Juli 1960. Tanggal itulah yang kemudian diperingatinya dengan pameran ini.
Saat masih kecil, Hardiman selalu punya khayalan-khayalan jangka pendek ke depan. Sampai masa kuliah, khayalan itu terus berlanjut, ingin ‘menjadi orang’, punya kader, punya keluarga, dan kondisi ekonomi mapan. “Nah, sampai titik sekarang 56 tahun. Saya ragu-ragu untuk meng-update khayalan atau keinginan tadi,” sambungnya. Namun, bagaimana dengan saat ini, saat ia menginjak 56 tahun, muncullah bayangan-bayangan buruk dalam benak, tentang sakit, stroke, raungan sirine ambulans, ruang ICU rumah sakit, dan kesulitan ekonomi. Gambaran itu lebih gambang di depan mata daripada hal-hal yang membuat optimis. Baginya, 5 sampai 10 tahun ke depan ialah menjadi tua dan renta lalu kemudian silam. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved