Sastra Warung Tenda

MI/IWAN J KURNIAWAN
26/7/2015 00:00
Sastra Warung Tenda
(MI/IWAN J KURNIAWAN)
DI warung tenda, belasan seniman dan sastrawan berkumpul. Mereka hadir bukan untuk menghabiskan waktu menyantap malam bersama, melainkan untuk sebuah acara kecil merayakan hari ulang tahun sastrawan gaek Remy Sylado.

Setelah berputar-putar mencari lokasi kawasan warung tenda Freshmarket di Kota Wisata Cibubur, akhirnya sastrawan Seno Gumira Ajidarma bisa ikut bergabung bersama seniman lainnya. Ia sempat kebingungan. Maklum, itu merupakan warung ala kaki lima dan bukan restoran elite.

Tidak saja Seno, seniman Syahnagra Ismail, Budi Karmanto alias Budi Kodok, Mas Padhik, dan Jose Rizal Manua, misalnya, juga sempat linglung. Kawasan itu memang jarang digunakan untuk menggelar helatan seni atau budaya.

Sore itu, Remy menjadi lelaki paling bahagia. Ia dikelilingi sahabat-sahabat dekatnya guna merayakan acara bertajuk 70 Tahun Remy Sylado, Minggu (12/7) lalu. Acara pun digelar dengan cara 'patungan' antarseniman.

Aneka makanan khas Solo ditambah minuman semisal wedang jahe plus kopi menjadi pelengkap. Tidak ada pemandu acara atau program khusus pada helatan itu. Semuanya memang sengaja dibuat bebas.Mereka ingin berbagi kebahagiaan bersama Remy. Acara sederhana itu bertepatan dengan waktu berbuka puasa.

Tak ayal, keintiman pun kian terasa. Ditambah, ada sesi pembacaan puisi, celoteh novel, melukis bersama, hingga 'pidato kebudayaan'.

''Tidak sembarang manusia berusia 70 tahun. Saya merasakan keberuntungan dengan adanya Mas Remy. Karena tulisan (puisi) pertama saya dimuat di Aktuil asuhan Mas Remy. Sastra itu membebaskan kita. Sastra enggak boleh begitu dan begini. Sastra itu bebas, sangat bebas, dan amat bebasnya,'' tutur Seno yang didaulat untuk berceloteh di acara tak resmi itu.

Remy terkenal lewat kebebasan dalam menghadirkan mazhab baru dalam kesusastraan di era 70-an. Itu kemudian, oleh pengamat sastra, dikenal dengan gerakan mbeling yang bermula di Kota Bandung.

Majalah Aktuil, majalah musik yang terbit di kota itu, menjadi salah satu wadah Remy menebarkan sastra mbeling-nya. Di situ, dia menulis cerita bersambung berjudul Orexas.

Remy menjadi tokoh sentral. Ia mendobrak pakem pada saat itu.''Kita semua bisa merdeka dari sastra dominan saat itu. Saya tertolong karena ada dunia lain, bukan dunia mapan (hegemoni majalah mainstream) saat itu,'' sambung Seno.

Remy lewat perjalanan hidup di sektor kebudayaan telah menyuguhkan banyak pemikiran, baik lewat novel, lukisan, maupun musik. Untuk berkarya tidak harus berpatok pada 'jalur utama' yang sudah mapan.

''Kita bersyukur karena kiprah Remy telah ikut memberikan sebagian sumbangan besar bagi dunia kebudayaan. Orang sebesar (sehebat) ini kok dirayain di tempat seperti ini (warung tenda)? Itulah kebesaran,'' puji Seno.

Rekanan sesama seniman yang hadir pun langsung memberikan tepuk tangan. Remy tampak ter sanjung dan langsung memeluk sahabatnya, Seno. Itu membuat suasana lebih erat. Ada unsur kebebasan. Kelak, mungkin itu tercatat sebagai sejarah dalam kesusastraan Indonesia.

Senja telah pergi dan sang malam pun datang. Novelis Ugi Agustono maju ke depan. Ia membuka halaman novel karya Remy berjudul Perempuan Bernama Arjuna: Filsafat dalam Fiksi. Ugi cukup santai.Matanya tertuju ke bab yang telah ia tandai. Tak berapa lama, ia membacakan petikan novel secara bergas.

Tidak lama berselang, penyair Adma Bestari pun terlihat trengginas. Ia ikut membaca puisi-puisi mbeling karya Remy. Semuanya berlangsung ceria di bawah warung tenda. Sesekali terdengar langkah pengunjung yang hendak menikmati kuliner di kawasan tersebut.Lukisan spontan Di sela-sela pembacaan puisi dan nukilan novel, pelukis Budi Kodok dan Padhik melakukan aksi melukis. Keduanya beraksi spontan di lokasi. Sambil duduk bersila, Padhik tampak serius melukis wajah Remy.Begitu pula Budi.

Dia begitu lihai memainkan kuas.Sambil menyulut sebatang keretek, ia menarikan kuas di atas selembar kanvas. Tarikan garisnya memang realis. Itu berupa lukisan potret.Hasilnya cukup memukau. Budi menghadirkan wajah Remy yang sedang menengok ke arah kanan.

Selesai melukis, Budi dan Padhik langsung menyodorkan karya mereka. Itu sebagai hadiah ulang tahun. Remy tampak senang meski hasil dalam objek lukisan menunjukkan Remy terlihat lebih muda di kanvas.

''Mas Remy adalah orang yang konsisten berkarya. Ia tidak lelahlelahnya memikirkan dunia kebudayaan kita,'' nilai Syahnagra yang turut hadir.

Di ujung acara, segerombolan pengunjung yang kebetulan sedang melewati kawasan warung tenda pun langsung berhenti sejenak.Mereka melihat sembari mengambil ponsel berkamera dari dalam saku. Sejurus, bunyi kamera dengan lampu flash terdengar. ''Itu Om Remy, pemain film itu lo,'' bisik salah satunya.

Acara berjalan penuh makna. Beberapa seniman sukarela patungan.Ada yang menyumbang kanvas, cat, spanduk, dan kue. Sebuah perayaan hari ulang tahun Remy terbalut sepotong kebahagiaan. Mereka sudah merayakan kebebasan bersastra sesungguhnya ala warung tenda.(M-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya