MESKI lahan sudah sangat terbatas, gedung-gedung bertingkat tidak juga berhenti tumbuh di Jakarta. Salah satu model gedung bertingkat yang menjamur belakangan ialah superblok.
Pada 2012, terdapat 12 proyek baru kompleks gedung yang terdiri atas hunian, ruang komersial, perkantoran, sekolah, hotel, dan rumah sakit ini. Tahun lalu di Jakarta dan Karawang dikabarkan, hadir 14 superblok baru.
Pertumbuhan superblok bukan hanya bertambahnya hunian dan fasilitas publik, tetapi berarti bertambahnya pula beban lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang meningkat ialah produksi sampah.
Berdasarkan data Bank Dunia, Jakarta memproduksi 7.896 ton sampah per hari. Ini berarti tiap penduduk ibu kota rata-rata menghasilkan sampah padat sebesar 0,88 kg per hari. Jika sebuah superblok setidaknya memiliki 1.000 unit dan tiap unitnya dihuni sedikitnya satu orang, sejak 2012 Jakarta mendapat tambahan 15 ton sampah padat per harinya. Dengan kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) yang kian sempit, superblok semestinya mandiri mengelola sampah. Itu pula pandangan dari pakar tata kota Nirwono Joga.
Bahkan, menurutnya, melihat superblok di negara tetangga, maka pengelolaan sampah mandiri merupakan sebuah kewajaran. Pasalnya, konsep superblok sesungguhnya dapat memberi keuntungan untuk pengelolaan sampah yang lebih mudah. Warga superblok dapat didorong untuk ikut mengelola sampah dari unit masing-masing.
"Pengembang bisa memberikan pelatihan kepada masyarakat yang tinggal di rumah susun. Peran pemerintah juga jangan luput, untuk mengutamakan pembelian produk lokal. Hasil karya mereka bisa toh dipakai untuk goodybag untuk berbagai acara," ujar Nirwono, Rabu(15/7). Ia juga menekankan jika konsep berjalan dan pemerintah tegas, persoalan sampah akan selesai pada tingkat domestik.
Tak hanya berseru kepada pihak pengembang untuk melakukan konsep seutuhnya, Nirwono juga meminta konsistensi dari pemerintah di tingkat atas agar ada sinergi antara dinas kebersihan, pertamanan, dan pariwisata. Segala karya yang dihasilkan warga hendaknya diapresiasi, baik untuk dibantu pemasaran maupun digunakan untuk kepentingan instansi, seperti hasil pupuk kompos yang bisa dibeli dinas pertamanan. "Jangan kalau pembinaan dan hasilnya sudah jadi malah ditinggal. Bantu pasarkan, gunakan untuk keperluan instansi. Ekonomi mereka pun akan terbantu," imbuhnya. Tak ada sampah ke TPA Pengelolaan sampah mandiri nyatanya sudah dilakukan di superblok Agung Podomoro Land di Jakarta Barat. Pengolahan sampah dilakukan di bangunan dengan luas 260 meter persegi itu yang berdiri di belakang Apartemen Mediterania.
Pagar hitam tinggi dan fiberglass menutupi salah satu bangunan yang digunakan sebagai area pertama masuknya sampah-sampah dari apartemen yang jumlahnya berkisar 8.000 unit. Sebuah jalan menanjak sengaja dibuat agar troli bak sampah dapat dibawa naik ke atas.
Selasa (7/7), Penanggung Jawab Divisi Lingkungan Hidup Kadek R Biantara menjelaskan proses menumpahkan sampah memang harus dilakukan dari bagian yang lebih tinggi. Dengan begitu, sampah hanya menumpuk di satu sisi sehingga tidak berserakan yang kemudian menimbulkan bau dan becek.
Terdapat tiga waktu pengumpulan sampah yang dilakukan petugas cleaning service, yaitu pagi hari, siang hari, dan malam hari. Sampah dari tempat penampungan sampah yang disebut BIN Center yang disediakan di setiap lantai dibawa turun untuk diserahkan kepada pekerja agar dipilah antara sampah organik dan anorganik. Total pekerja sebanyak 12 orang akan bergantian memilah supaya sampah tidak menumpuk dan bau menyengat tidak mengganggu masyarakat sekitar. Para pekerja merupakan penduduk kelas menengah bawah yang tinggal di sekitar kawasan superblok itu.
"Mereka akan mengumpulkan sesuai dengan bahan, ada plastik, kardus, dan kertas. Sementara itu, yang organik langsung diserahkan kepada bangunan di sebelahnya untuk diolah menjadi kompos dan gas metana," jelas Kadek tentang pengelolaan sampah yang dijalankan sejak 2011 itu.
Sampah anorganik kemudian akan diangkut pengepul dengan menggunakan truk berkapasitas 10 kubik per truk. Ada tiga truk setiap hari dan beroperasi pada dini hari supaya tidak mengganggu lalu lalang penghuni. Uang penjualan sampah tersebut sepenuhnya menjadi milik para pemilah sampah.
Pupuk untuk taman dan kelurahan Jika para pemilah sampah mendapatkan uang dari hasil penjualan sampah anorganik, manfaat lain yang dirasakan banyak orang ialah pupuk kompos yang terbuat dari sampah organik berupa sisa makanan dan potongan tanaman berupa ranting ataupun daun-daun yang berjatuhan. Sampah tersebut dikumpulkan menjadi satu, dicacah dengan mesin agar proses pembusukan lebih cepat terjadi. Tumpukan sampah kemudian disiram bakteri dan ditutup rapat dengan terpal tebal.
Setiap tiga hari sekali, petugas komposting mengaduknya agar sampah dan bakteri benar-benar menyatu dan segera bisa digunakan. Waktu yang dibutuhkan sekitar empat minggu untuk mendapatkan hasil pupuk kompos maksimal sebanyak 800 kg. Pupuk tersebut, kata Kadek, memang tidak diperjualbelikan karena pihaknya masih membutuhkan. Sementara itu, sebagian pupuk juga didonasikan untuk kelurahan terdekat, yaitu Kelurahan Tanjung Duren.
"Tak hanya untuk pupuk, sampah organik juga kami ubah menjadi gas metana sebagai bahan bakar memasak. Kami memiliki dua kolam bioreaktor berkapasitas 1.000 dan 2.000 liter. Lumayan digunakan para penjaga dan petugas kebersihan untuk memasak air dan memasak makanan," tutur Kadek seraya menambahkan impian pihaknya agar dapat menyalurkan gas metana kepada warga sekitar.
Kadek mengakui memang sulit untuk membiasakan para penghuni agar bisa memilah sampah organik dan anorganik secara langsung. Karena itu, pihaknya perlahan membantu membuka pikiran penghuni melalui program CSR Green Waste dan penyediaan tempat sampah sesuai dengan kriteria organik dan anorganik.
Rencana selanjutnya, sampah organik sisa dari hotel dan pusat perbelanjaan pun ingin ditampung dan diolah di tempat pengolahan terpadu. Pengelolaan sampah secara mandiri terbukti dapat dilakukan dan memberi nilai ekonomis di superblok. (M-3)