Sabda Leluhur

Ono Sarwono
17/7/2016 03:15
Sabda Leluhur
()

SUDAH lama Limbuk ingin bertanya kepada emaknya, Cangik, tentang makna Bakda Kupat atau Lebaran Kupat. Ini merupakan ‘hari raya kecil’ yang terjadi seminggu setelah hari raya besar Idul Fitri. Ini bisa disebut kultur yang terpelihara turun-temurun dalam masyarakat Jawa. Ciri khasnya, menu wajibnya adalah kupat (ketupat) itu sendiri.

Limbuk yang mewakili generasi saat ini memang tidak banyak mengetahui apa Lebaran Kupat itu, apalagi jika dalam budaya masyarakat lain tidak ditemui. Umumnya yang ada hanya merayakan Idul Fitri 1 Syawal yang juga disebut sebagai Hari Raya Lebaran.

Namun, kini sebagian orang Jawa sendiri juga sudah banyak yang meninggalkan tradisi Lebaran Kupat. Namun, Cangik tetap melestarikan budaya itu hingga saat ini. Itu karena ia merasa mendapatkan ketenteraman hidup dengan menjalankan warisan leluhur tersebut.

“Mak, keluarga kita sampai sekarang masih mengadakan perayaan Lebaran Kupat, kenapa sih mak?” tanya Limbuk di pawon sambil bersih-bersih keren (tempat api untuk memasak). Cangik, yang duduk di lincak sambil mengunyah kinang, lalu menoleh ke anak semata wayangnya itu. Setelah membetulkan tembakau susurnya ke sudut mulut, lalu ia berujar dengan nada datar, “Ya, karena ini warisan embah-embahmu dulu yang sarat makna, yang pantas diuri-uri.”

Lebaran Kupat ini berlangsung pada hari ketujuh setelah Hari Raya Lebaran 1 Syawal. Setelah berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan, warga kembali berpuasa sunah selama enam hari sehari seusai Idul Fitri. Lalu, setelah rangkaian puasa Syawal itu tuntas diakhiri dengan Lebaran (Bakda) Kupat.

Jadi, dalam budaya masyarakat Jawa, ketika Lebaran Idul Fitri malah tidak ada hidangan kupat. Makanan dari bahan utama beras yang terbungkus janur kuning yang dianyam itu hanya dihidangkan kala Lebaran Kupat. Ini memang berbeda dengan sejumlah daerah lainnya.

“Lalu, kenapa dinamakan Lebaran Kupat,” tanya Limbuk. “Ya karena makanan utamanya kupat hehehe...,” jawab Cangkik terkekeh dan tampak gusinya gundul karena semua giginya sudah tanggal.

“Enggak, bukan, bukan itu. Maksudku, kupat itu mengandung makna yang luas dan sangat berarti bagi kita sebagai umat,” jelas Cangik dengan cepat. Karenanya, ia sempat tersedak karena ada sisiran tembakau susurnya yang hampir tertelan.

“Jadi, apa maknanya?” rajuk Limbuk.

Cangik lalu menjelaskan panjang lebar tentang makna kupat yang ia ingat dari wejangan turun temurun dari para leluhurnya. Bahwa kupat yang berbentuk empat persegi itu secara filosofis melambangkan kiblat papat lima pancer. Kiblat papat (empat) itu adalah utara, selatan, timur, dan barat. Maknanya, ke mana pun perginya manusia, tidak bisa terlepas dari ‘pancer’, yaitu kekuasaan Tuhan, sebagai pusat dari segala-galanya.

“Kalau arti kata kupat itu sendiri apa mak,” tanyanya lagi.

“Ini dari bahasa Jawa. Kupat itu kependekan dari kata ‘ngaku lepat’, yang artinya mengaku salah,” jelasnya. “Di sinilah kita sebagai manusia pasti mempunyai kesalahan. Lalu dengan sadar kita mengaku bersalah, maka kewajiban kita harus meminta maaf,” paparnya.

Dari penjelasan itu Limbuk mengangguk-angguk. Ia seperti menemukan jawaban tentang adanya budaya ujung. Ini kebiasaan (kultur) warga yang sungkem untuk meminta maaf dan ampun kepada orang tua, kakek-nekek, dan atau orang-orang yang lebih tua atau dituakan. Ini juga merupakan tuntutan tentang sikap hormat dan rendah hati.

Empat laku
Sejenak suasana hening, yang terdengar kemudian keributan ayam babon (induk ayam) yang memanggil-manggil anaknya di belakang rumah. Tidak lama kemudian Cangik membuka omongan, “Kalau lebaran, apa yang kamu ketahui nduk?”

“Lebaran ya Lebaran mak. Ya, senang-senang dengan makan-minum sepuasnya setelah selesai berpuasa,” jawab Limbuk seenaknya sambil nyengir. Sebelum emaknya menjawab, Limbuk yang siang itu tampak segar, langsung menyambung, “Sebenarnya apa sih mak Lebaran itu?”

“Makanya, apa-apa itu mesti dimengerti, dipahami dengan benar, biar tidak terjerumus. Tidak grudag-grudug, hanya ikut-ikutan. Inilah yang banyak terjadi pada anak-anak muda kita di Amarta ini,” keluh Cangik. “Hehehe....maksud mak lebai gitu ya?” sahut Limbuk sambil mesem dengan pipi yang ranum memerah.

Cangik lalu bertutur dengan teratur tentang arti dan makna Lebaran. Berdasarkan ajaran leluhur yang ia terima dan pahami, bahwa Lebaran itu tidak terlepas dari kupat itu sendiri. Kupat yang bukan hanya berarti ngaku lepat, melainkan juga bermakna laku papat (menjalani laku empat). Yaitu, Lebaran, luberan, leburan, dan laburan.

Lebaran itu dari kata lebar (Jawa) yang artinya usai atau selesai. Ini sebagai tanda berakhirnya berpuasa. Maka, setelah berpuasa Ramadan selama sebulan penuh rampung, lalu diakhiri dengan Idul Fitri. Kemudian, sehari kemudian dilanjutkan dengan berpuasa sunah Syawal selama enam hari yang dipuncaki dengan Lebaran Kupat.

Berikutnya, luberan. Arti kata ini ialah meluber atau melimpah. Ini ajaran agar kita semua berjiwa luber. Penerapannya, siapa saja yang berkecukupan rezeki memberikan sedekah atau bantuan kepada kaum miskin atau yang hidupnya belum beruntung. Aksi ini mesti dilambari dengan legawa atau keikhlasan.

Sementara itu, leburan berasal dari kata lebur yang artinya hancur atau habis. Maknanya, dengan leburan berarti kita melebur atau menghilangkan semua kesalahan dan dosa. Dengan sebelumnya mengaku lepat(salah), kemudian kita wajib meminta maaf. Pada momen ini manusia mesti saling memaafkan.

Terakhir adalah laburan. Ini berasal dari kata labur atau kapur yang berwarna putih. Dalam masyarakat Jawa (dulu), kapur itu sering digunakan untuk melabur tembok, pagar, pohon atau apa pun dengan tujuan agar tampak bersih. Maknanya, setelah saling memaafkan, kita semua dalam kondisi putih bersih lahir dan batin.

Keempat laku itu merupakan rangkaian yang tidak terlepas satu sama lain. Dengan menjalani laku papat, itu kita menjadi putih bersih. Inilah ajaran yang mesti dijiwai dan diamalkan sehingga memperoleh ketenteraman hidup.

“Wah, ternyata Lebaran Kupat ini sarat makna yang sangat baik ya mak,” ujar Limbuk. “Iya nduk. Ini budaya kita yang seyogianya kita lestarikan. Banyak ajaran luhur yang terkandung di dalamnya, dan itu tuntunan pula untuk membentuk pribadi yang mulia,” pungkas Cangik. (M-4)

sarwono@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya