Untaian Selawat Seni Tabuh Beduk

(Abdillah M Marzuqi/M-2)
10/7/2016 01:20
Untaian Selawat Seni Tabuh Beduk
(MI/ABDILLAH M MARZUQI)

BEBERAPA anak telah bersiap sedari tadi. Mereka menempatkan diri di bawah sebuah beduk berdiameter sekira 1 meter. Beberapa masih berusia belasan meski juga ada yang tampak sudah berusia kepala dua, bahkan ada pula yang kepala tiga. Mereka sedang menunggu para sepuh yang berada di ruang dalam masjid. Para sepuh sedang membaca doa ritual pascatarawih. Beduk itu terlihat cukup tua dengan warna yang tak lagi segar. Bunyian tabuh itu berada di bawah sebuah penampang dari kayu balok berbentuk persegi. Kayu sepelukan orang dewasa itu masih tampak kekar dan mampu memapang belulang kulit sapi, meski banyak terlihat gurat rompal pertanda terlalu sering beradu dengan kayu pemukul. Belulang juga terlihat gundul tanpa bulu pada bagian tengah. Berbeda dengan belulang pinggir yang berada dekat dengan kayu. Belulang pinggir itu masih tebal dengan bulu halus.

Tepat di samping beduk, ada sebuah kayu besar yang punya rongga besar. Kayu itu diletakkan menggantung memanjang. Kayu utuh itu punya struktur padat dengan diameter kurang dari setengah meter. Kentungan itu punya panjang setinggi orang dewasa, sekitar satu seperempat meter. Salah satu dari mereka yang berkumpul menggenggam kayu pada masing-masing tangan. Setiap kayu punya panjang sama, sekitar 40 cm. Memang tidak begitu besar lingkar tengahnya, hanya sekira 5 cm. Cukup untuk jemari menggenggam utuh melingkar kayu, sedangkan yang lain memegang pemukul yang berbeda bentuk.

Ada bulatan besar di ujung kayu pemukul. Rupanya masing-masing pemukul punya kegunaan tersendiri. Pemukul tanpa benjolan digunakan untuk membunyikan beduk, sedangkan pemukul dengan ujung benjol boleh beradu dengan kentungan.
Seketika setelah bacaan doa terakhir dari para sepuh dari dalam ruang masjid, para anak di serambi masjid yang telah bersiap dengan tabuh pun bergegas. Selaras, waktu antara syair mulai didendang dan beduk ditabuh. Itulah seni Tedor. Begitu masyarakat lokal menyebut seni tabuh beduk dan pukul kentungan itu.

Pemandangan itu lazim dijumpai setiap malam selesai salat tarawih di Masjid Darussalam Dusun Ngrembang, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. Kesenian itu tidak bisa didapati sepanjang tahun, hanya saat-saat tertentu, seperti Ramadan, pera­yaan Idul Fitri, dan Idul Adha. Meski menggunakan tetabuh­an yang sama, setiap bunyian itu menandai hal yang berbeda. Sebab tergantung momentum. Seperti saat Ramadan, kesenian tabuh itu biasa dilakukan beberapa kali.

Setelah tarawih, kesenian itu biasa dilakukan untuk menggi­ring syair yang didendangkan para tetua. Syair itu berisi untai­an selawat, kalimat tauhid, dan doa untuk negara sejahtera. Tiap pukul 24.00, tabuhan itu juga dilakukan untuk menandai waktu tengah malam serta untuk mengingatkan waktu salat malam. “Yang pasti ya setiap habis tarawih,” terang takmir Masjid Darussalam Mahsunuddin. Selain bulan Ramadan, tetabuh­an juga dilakukan untuk menggiring bacaan takbir saat malam Idul Fitri dan Idul Adha. (Abdillah M Marzuqi/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya