Goresan untuk Toleransi dan Kerukunan

(M-2)
03/7/2016 00:40
Goresan untuk Toleransi dan Kerukunan
(MI/ABDILLAH M MARZUQI)

BERFOKUS pada tubuh bagian atas, seorang pria tampak kukuh dengan hanya ditampilkan kepala. Turut pula agak sedikit bagian di bawah leher. Bagian bahu sengaja tidak diturut, hanya terlihat kerah leher baju yang sedikit menyumbul. Wajahnya hitam melegam. Rambutnya tertutup peci rajut berwarna putih. Gambar itu cukup jelas. Detail gurat wajah tampak tajam dalam kanvas berbingkai. Memang cukup sederhana objek yang terpampang, hanya wajah seorang pria. Namun, ternyata ada makna besar di baliknya. Setidaknya makna itu dapat ditelusuri dari judul lukisan Wajah Kristen Saudara Muslimku (2016). Lukisan itu ialah karya Yopie Liliweri. Melalui karyanya, Yopie ingin berbincang tentang toleransi dan kerukunan yang ada di kota kelahirannya Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Yopie tidak sendiri sebab ada 20 pelukis lain yang juga berturut dalam pameran bertajuk Multifacade Timor. Helatan ini diadakan di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 27-29 Juni 2016. “Bagaimana kalau itu (peci) dilepas. Ya sama saja, wajah hitam. Seperti kebanyakan orang di NTT. Tidak tampak dia Islam atau Kristen,” ujar Yopie. Ada pula karya Yopie yang lain berjudul Harmoni Rupa dan Keyakinan (2016). Lukisan itu kurang lebih senapas dengan lukisannya yang pertama. Dalam kanvas itu muncul wajah seorang perempuan yang menggunakan tutup kepala layaknya kerudung. Yopie sempat bercerita tentang beberapa kejadian. Salah satunya ialah seorang pendeta Kristen yang mempunyai ibu berlainan agama. Saat pelantikan sang anak sebagai pendeta, sang ibu pun turut menghadiri upacara pelantikan yang diadakan di gereja. Ketika itu, sang ibu yang beragama Islam pun datang dengan memakai kerudung. Lain ketika juga ada gereja yang punya pintu masuk berada di sebelah permakaman Islam.

Cerita tentang NTT
Sebanyak 21 seniman asal NTT unjuk karya. Ini ialah cerita tentang NTT. Beragam citra dan persona yang muncul dalam tangkapan siapa pun yang pernah mengecap keindahan tempat itu. Tak hanya mereka yang terlahir dengan darah dari bumi NTT. Para perantau yang kemudian terpikat dengan keindahan NTT pun berturut unjuk karya. Di sisi dinding lain ada sebingkai kanvas lebar dengan warna agak cenderung gelap. Dalam lukisan itu, seorang pria menyandarkan kepala di atas sebongkah batu besar, sedangkan posisi badan diringkuk. Batu itu cukup besar berukuran setara dengan tubuh pria. Di sebelah kaki pria itu terdapat wadah air cukup besar. Wadah itu terletak tepat di bawah pancuran air yang mengericik menge­luarkan air dengan liris.

Lukisan itu ialah karya Ubed Mashonef yang berjudul Menanti Tetesan Air (2011). Ubed bukan lahir di NTT, ia ialah pelukis kelahiran Lamongan, Jawa Timur. Namun, ia sudah berdiam selama sekitar dua puluhan tahun di NTT. Dalam beberapa lukisannya, Ubed mengangkat tema tentang NTT di matanya sebagai seorang pendatang yang punya latar budaya berbeda. Ubed menangkap kondisi dan situa­si yang akrab dijumpai di NTT, yakni sulit air. Wilayah pedalaman dan pesisir di NTT ialah wilayah yang akrab dengan kering. Warga di sana sangat berkesulitan untuk memperoleh air bersih. “Itu sedang menunggu air penuh, sampai tertidur,” jelas Ubed. Meski berlangsung singkat selama tiga hari, pameran itu telah menyajikan cukup gambaran tentang Nusa Tenggara Timur. Tentang alam, budaya, sosial, manusia, tradisi, dan kearifan lokal. Mengutip kalimat pamungkas dari kurator pameran Fajar Sidiq. “Jika sebuah lukisan memiliki cerita dan pesona, ia akan tetap abadi bagian dari persembahan sesuatu yang terberi.” (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya