Potret Buram Rumah Tangga

ABDILLAH M MARZUKI
03/7/2016 00:30
Potret Buram Rumah Tangga
(MI/ABDILLAH M MARZUQI)

LIMA orang sudah berada dalam panggung sejak awal pertunjukan. Masing-masing dengan posisi tubuh sama. Tangan menutup telinga kanan dan kiri. Mereka bertahan dalam posisi membeku. Tubuh mereka mematung kaku. Hanya geliat dan lengkung tubuh mereka yang tak sama. Masing-masing punya ragam figur tubuh. Mereka merapat membentuk untuk menjadi beda antara satu aktor dan aktor yang lain. Awalnya, mereka berlima bertahan dengan posisi diam. Tiba-tiba musik mengalun, mereka pun mengubah figur tubuh. Masing-masing bersembahyang dengan dupa menyala di depan sebuah foto lelaki tua. Suasana hening bertahan agak lama. Cukup untuk mengantar penonton untuk memasuki alam latar yang sengaja dibangun dalam panggung. Blep... Lampu mati. Mendadak panggung menjadi gelap. Ketika lampu menyala, sudah ada tiga orang berada dalam panggung. Mereka terlibat dialog sengit tentang soal yang cukup nyentrik, yakni tentang tidak bisa tidur. Namun, tunggu dulu. Jangan terkecoh. Ternyata ada sebab besar di balik hanya sekadar dialog tidak bisa tidur. Itu ialah dialog dua anak dan seorang menantu dari ibu yang tua renta, sedangkan bapaknya telah meninggal dunia. Sekarang hanya tinggal seorang perempuan tua yang hampir tidak kuat untuk menyangga hidupnya sendiri. Untuk berdiri saja susah, hampir-hampir setiap aktivitasnya harus ditopang orang lain. “Yang jelas gue enggak bisa kalau nginep. Gue enggak bisa tidur kalau bukan di rumah gue sendiri,” tegas wanita pertama. “Terus yang jagain mama pas malam siapa?” ujar perempuan kedua yang rupanya ialah adik perempuan pertama. “Gue enggak tahu. Yang jelas gue enggak bisa! Gue enggak bisa tidur kalau tidak di rumah sendiri,” jawab wanita pertama ketus. Blep... Lampu padam. Set panggung berganti. Seorang wanita tua berada di atas dipan. Rupanya dialah sang ibu. Wanita tangguh yang dulunya mampu menyangga hidup kelima anaknya. Namun sekarang, kelima anaknya malah tak sanggup menanggung hidup satu orang ibu.

Itulah tema besar yang dimainkan Kelompok Teater Kami dengan judul Jodar: Duka Ibu Adalah Duka Semesta di Bentara Budaya Jakarta pada 23-24 Juni 2016. Jodar adalah cerita naskah yang bersumber dari pengalaman nyata yang teralami dan dialami oleh masyarakat. Itulah yang diangkat dalam panggung teater oleh sutradara sekaligus penulis naskah Harris Priadie Bah. Harris menyebut, satu orang ibu bisa merawat dan membesarkan lima atau 10 anak, tapi lima atau 10 anak belum tentu bisa merawat seorang ibu. “Jodar mempersoalkan permasalahan dalam masyarakat hari ini yang telah meninggalkan nilai-nilai keagungan dalam keluarga. Anak tak lagi menurut pada orangtua, berlaku kasar, dan bahkan mendurhakainya dengan menolak merawat orang tuanya yang telah merenta usia,” tegasnya. Menurutnya, penjodaran (pendurhakaan) adalah sebuah kenyataan miris yang boleh jadi menggejala dalam kehidupan modern saat ini. Kenyataan itu kian mengarahkan manusia pada keasyikan diri sendiri. Manusia semakin lupa pada takdirnya sebagai makhluk yang membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. “Jodar adalah potret buram rumah tangga yang kian menjauh dari nilai-nilai kebaikan sebuah keluarga,” imbuhnya lagi.

Mengasih sumber kehidupan
Jodar adalah undangan bagi siapa pun yang pernah menjadi anak dari ibu yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkannya, untuk kembali (kalau sempat pergi kesadaran itu) mengasihi, menghormati, dan memberikan waktu serta perhatian terhadap ibunya. Dunia ialah fana, kasih, dan kebaikan mengekal dalam ingatan waktu. Sebelum semua berlalu, sebelum segala menjadi debu. Mengasihi ibu ialah mengasih sumber kehidupan itu. Meski lakon dimainkan sarat dengan tema yang cenderung personal, tapi bukan berarti lakon tersebut menjadi membosankan. Naskah ini malah tampak tidak sedang berbicara tentang tangkapan personal. Justru pesan diusung terkesan meluas dengan pesan global. Inilah sebabnya, tidak sulit untuk menjangkau dan menangkap tema yang dibawakan.

Tema sederhana menjadi demikian menarik dan inspiratif ketika berada di atas panggung. Apalagi, ketika didukung penggarapan yang total. Naskah ini sengaja dimainkan dalam fragmen-fragmen berdurasi singkat. Tiap babak dibuat begitu padat dengan dialog tempo cepat. Ada diksi berulang dengan detail dan susunan berbeda. Justru diksi dan tempo inilah yang membuat pementasan Kelompok Teater Kami berhasil menyampaikan pesan tanpa menggurui penonton. Memang ada kalanya adegan dimainkan dengan tempo pelan. Namun, tempo tersebut malah membuat dramaturgi semakin hidup. Setelah dialog tempo cepat dengan diksi berulang, babak selanjutnya akan membawa masuk ruang hening. Cukup untuk memberi jeda penonton meresapi makna dan pesan yang disampaikan sebelumnya. “Lewat Jodar dan tematik lainnya yang sederhana dan keseharian, sesungguhnya saya sedang mengajak dan mengundang para penonton saya yang setia untuk bersama menjadi persona yang sadar akan kemanusiaannya,” pungkas Harris. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya